R. Bambang Aris Sasangka

Pujangga India, Rabindranath Tagore (berdiri di tengah, berjenggot putih) berfoto bersama di Pendapa Pura Mangkunegaran diapit Sri Paduka Mangkunegoro VII dan Gusti Putri Mangkunegoro VII. Dr. Radjiman Wedyodiningrat, salah satu pengurus organisasi Budi Utomo, terlihat duduk bersila di depan Mangkunegoro VII.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro VII yang merupakan penguasa Kadipaten Mangkunegaran dikenal sebagai tokoh dengan banyak kiprah. Tak hanya melanjutkan karya pendahulunya dengan membangun infrastruktur dan industri gula, Sri Mangkunegoro VII juga merupakan seorang tokoh budaya.
Bahkan dia menjadi penerjemah karya-karya dari pujangga terkenal India, Rabindranath Tagore, ke dalam bahasa Jawa. Sumber penerjemahannya adalah terjemahan ke dalam bahasa Belanda yang sudah lebih dulu ada, yang digarap Raden Mas Noto Soeroto, cucu penguasa Pura Pakualaman Yogyakarta, Sri Paku Alam V.
R.M. Noto Soeroto yang aktif di dunia kesusasteraan di Belanda juga menulis sketsa biografi Tagore dan menulis buku tentang ide-ide pendidikan Tagore. R.M. Noto Soeroto sendiri berkawan akrab dengan Gusti Raden Mas Soerjo Soeparto, yang kemudian naik takhta sebagai Mangkunegoro VII.
Karena itulah Rabindranath Tagore juga menjadikan kunjungan ke Mangkunegoro VII sebagai bagian dari agendanya saat melakukan perjalanan ke Hindia Belanda pada 1927. Dia bahkan menjadi salah satu undangan utama saat upacara peringatan naik takhta atau jumenengan Mangkunegoro VII. Peran R.M. Noto Soeroto dan Mangkunegoro VII dalam menerjemahkan karya-karya Tagore membuatnya terkenal luas di sini sehingga banyak orang yang sangat antusias dengan kabar kunjungan Tagore.
Kisah perjalanan pemenang Anugerah Nobel bidang sastra ini ke Hindia Belanda dikisahkan Dr. Arun Das Gupta dalam makalahnya, Rabindranath Tagore In Indonesia: An Experiment In Bridge-Building yang terhimpun dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158 (2002), yang diunduh penulis dari situs
Arun Das Gupta menyebut bahwa ini adalah misi budaya dari perguruan tinggi yang dipelopori Tagore yaitu Universitas Visva Bharati di Santiniketan. Misinya adalah mempelajari warisan budaya India di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu), serta membangun kerja sama budaya antara India dengan kawasan Asia Tenggara.
Arun Das Gupta juga menyebut Tagore sudah lama penasaran dengan Bali karena agama Hindu dan budayanya yang sangat khas. Selain itu Tagore sendiri sebelum berangkat menyatakan bahwa perjalanan itu adalah peziarahan ke tempat pengaruh India berada di luar batas-batas geografis dan politik.
Lawatan Tagore ke wilayah Hindia Belanda ini juga berdasar undangan dan sponsor penuh komunitas peminat budaya, Kunstkring atau perkumpulan kebudayaan di Batavia (Jakarta). Sementara untuk agenda kunjungan Tagore ke berbagai situs sejarah dan budaya seperti Candi Borobudur, Dinas Arkeologi Pemerintah Hindia Belanda memberikan fasilitasinya.
Pemerintah Hindia Belanda bersikap hati-hati menyikapi kunjungan ini. Di satu sisi mereka ingin sang pujangga besar itu nyaman dalam muhibahnya. Namun di sisi lain Belanda juga tak ingin kedatangan Tagore menyulut semangat nasionalisme. Soalnya Tagore adalah salah satu inspirasi nasionalisme termasuk dalam hal pendidikan seperti yang diadopsi Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswa-nya.
Muhibah Panjang
Tagore (1861-1941) berangkat dari kota tempat kelahirannya, Calcutta (kini Kolkata), India, pada 12 Juli 1927. Tak sendirian, dia didampingi pakar filologi atau pakar teks klasik Suniti Kumar Chatterji, seniman yang juga fotografer dan arsitek Surendranath Kar, serta pelukis dan pemusik Dhirendra Krishna Deva Varman.
Mereka berangkat dengan kapal Prancis Ambois dari Kota Madras ke Singapura. Setelah sebulan tinggal di Singapura dan Malaya (kini Malaysia), mereka tiba di Batavia (Jakarta) pada 21 Agustus. Perjalanan berlanjut ke Bali, lantas Surabaya. Kemudian dengan perjalanan darat mereka berkunjung ke berbagai tempat di Jawa dari tanggal 9 hingga 30 September. Di akhir September itu rombongan Tagore meninggalkan Batavia dan pulang melalui Singapura.
Setelah berkunjung ke Bali dan kemudian Surabaya, Tagore tiba di Kota Solo dan tinggal selama lima hari (12-17 September 1927). Situs resmi Pura Mangkunegaran, puromangkunegaran.com menyebut selama itu Tagore menjadi tamu resmi Mangkunegoro VII dan tinggal di lingkup Mangkunegaran.
Salah satu bangsawan Solo, K.R.T. dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang juga tokoh organisasi Budi Utomo dan tokoh kebudayaan, menjadi pemandunya ke berbagai pertemuan dan pertunjukan budaya. Dalam salah satu jamuan besar untuk menghormatinya, dalam brosur panduan acara ada tulisan puisi Tagore mengenai Jawa dalam terjemahan bahasa Belanda dan Inggris dengan tanda tangan Tagore dan Mangkunegoro VII. Dalam acara lain, karya Tagore dalam bahasa Jawa hasil terjemahan Mangkunegoro VII tersaji dalam bentuk tembang.
Pertunjukan-pertunjukan kesenian Jawa seperti tarian dan wayang kulit yang hadir ke hadapan Tagore memberi kesan mendalam kepadanya. Tagore takjub dengan adaptasi Jawa terhadap tradisi Hindu-India.
Tagore dalam surat-suratnya terkait perjalanannya ke Jawa serta catatan dalam buku harian salah satu pendampingnya, Chatterji, sama-sama mengungkapkan kekaguman tentang hal ini. Mereka sama-sama menyebut bahwa budaya Jawa mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan kisah-kisah sastra klasik India yaitu Mahabharata dan Ramayana dan memberikan tafsir sendiri yang sangat orisinal.
Sementara penghormatan dari Mangkunegoro VII terhadap Tagore tak hanya dalam wujud menjadi tuan rumah. Mangkunegoro VII bahkan menyematkan nama Rabindranath Tagore menjadi nama sebuah jalan di kawasan Gilingan. Inilah mungkin satu-satunya jalan di Indonesia yang peresmian penamaannya berlangsung dengan kehadiran langsung si empunya nama. Jl. Rabindranath Tagore masih bisa kita jumpai sekarang yaitu jalan yang ada di sisi timur kompleks Terminal Tirtonadi Solo.