Menengok Kisah Sejarah di Kecamatan Baki Sukoharjo

October 16, 2025

Di sebuah ruas jalan yang menghubungkan wilayah perbatasan Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan jalan raya Kartasura-Jogja, terletak sebuah kecamatan yaitu Kecamatan Baki. Ibu  kota kecamatannya kecil saja, hanya di sepanjang jalan utama, tak seperti ibu kota kecamatan lain di Sukoharjo seperti Kartasura atau Mojolaban yang berwujud “kota.”

Namun Kecamatan Baki menyimpan banyak kisah sejarah. Seperti dikisahkan dalam sejumlah liputan terpisah di espos.id, nama Baki sudah mencuat sejak beberapa abad silam. Konon nama Baki berasal sosok keturunan Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Bah Baki. Makam tokoh ini ada di Desa Bentakan, Baki.

Bah Baki ini diriwayatkan sebagai pemimpin salah satu pasukan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang bernama Bregodo Baki. Sampai sekarang kesatuan itu pun masih tampil dalam acara-acara di Keraton Solo. Seragam khas prajurit Baki berwarna merah, dengan jarik berwarna abu-abu, bersenjatakan tombak, dengan menggunakan kuluk di kepala. Kuluk adalah kopiah kebesaran yang sekarang banyak digunakan untuk acara pernikahan Jawa. Dalam sejarahnya, Bregodo Baki bertugas sebagai pasukan pengamanan di bagian inti Keraton Solo.

Sementara dalam data tertulis yang disajikan saat Pameran Arsip dan Foto Baki Tempo Dulu yang digelar di pendapa kantor Kecamatan Baki, Graha Wijaya, Jumat-Minggu (19-21/9/2025) lalu, disebutkan bahwa salah satu bukti Bah Baki adalah keturunan Tionghoa adalah wujud makamnya yang lebih besar jika dibandingkan dengan makam Jawa.

Awalnya makam Bah Baki hanya berwujud gundukan tanah yang cukup besar, mirip dengan gaya makam Tionghoa. Makam Bah Baki kemudian dipugar pada 1977 dan kembali direnovasi pada tahun 2000-an.

Wilayah Baki dalam data yang sama disebut sudah ada atau sudah menjadi tempat hunian sejak era Kerajaan Mataram Islam di akhir abad ke-16. Sedangkan saat Kasunanan Surakarta Hadiningrat memindahkan keraton atau ibu kota dari Kartasura ke Desa Sala atau yang merupakan Kota Solo sesudahnya, Baki disebut sebagai satu-satunya dusun/kampung yang ada di sisi barat Bengawan Solo.

Wilayah Baki dan wilayah kecamatan yang bertetangga, Gatak, Sukoharjo, dan Delanggu, Kabupaten Klaten, bahkan menjadi lokasi sejumlah pertempuran berskala besar dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa 1825-1830. Salah satu pertempuran besar yang pecah kala itu adalah Pertempuran Gawok. Gawok adalah kampung di sebelah barat Baki, yang masuk dalam Kecamatan Gatak yang bersebelahan wilayah.

Seorang pegiat sejarah yang memiliki leluhur asal Baki, Surya Harjono, kepada penulis menjelaskan Baki di era cultuur stelsel atau era eksploitasi pertanian pasca-Perang Jawa atau Perang Diponegoro juga menjadi daerah perkebunan yang strategis. Perkebunan tembakau dan tebu marak di era itu, disertai pembangunan pabrik-pabrik pengolahannya di sekitarnya.

Misalkan saja ada Landbouw Maatschapiij Temoeloes yang sekarang masuk dalam wilayah Dukuh Pabrik, Kelurahan Pondok, Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Pabrik ini mengelola berbagai macam komoditas yaitu tebu, tembakau, biji nila, dan padi. Pabrik ini cukup sukses di zamannya. Selain itu masih ada Bakipandejan Cultuur Maatschapijj, Landbouw Maatchapiij Manang, Cultuur Maatchapijj Gawok, Indigo Fabrik Siwal, dan Indigo Fabriek Ngroeki.

Banyak infrastruktur pertanian seperti sistem irigasi dengan aneka bendungan dan saluran yang dibangun Belanda pada masa awal abad ke-20 yang terutama untuk melayani penanaman tembakau. “Bahkan tembakau dari Gawok, Baki, sempat menjadi salah satu tembakau yang terbaik kualitasnya dan tentu saja harganya di pasaran tembakau dunia,” jelas Surya saat ditemui penulis di sela-sela Pameran Arsip dan Foto Baki Tempo Dulu di pendapa kantor Kecamatan Baki, Jumat-Minggu (19-21/9/2025).

Saat ini, Kecamatan Baki terdiri atas 14 desa yaitu Bakipandeyan, Bentakan, Duwet, Gedongan, Gentan, Jetis, Kadilangu, Kudu, Mancasan, Menuran, Ngrombo, Purbayan, Siwal, dan Waru. Wilayah Baki kini juga dikenal karena kuliner khas berupa nasi liwet di mana banyak penjual nasi liwet di Kota Solo yang berasal dari wilayah ini, khususnya dari Desa Duwet. Ada pula sentra produsen kerajinan gitar di Desa Ngrombo dan Desa Mancasan.

Sayangnya kemajuan perekonomian juga membuat sejumlah lahan sawah di kecamatan ini beralih fungsi menjadi perumahan, pabrik, pergudangan, atau tempat-tempat usaha. Namun jika kita keluar dari jalan besar atau utama, lahan persawahan yang terbentang luas masih bisa dinikmati.

About the author
B@s