TNI Angkatan Udara belakangan santer dikabarkan bakal diperkuat dengan pesawat jet tempur China, J-10 Vigorous Dragon buatan China. Jika memang benar, maka ini menjadi bagian terbaru belanja alutsista atau alat utama sistem senjata oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
TNI AU sebagai user atau pengguna sejauh ini belum memberi konfirmasi resmi. Selama ini TNI AU hanya menyebut bahwa J-10 menjadi “salah satu yang dipertimbangkan.” Sementara Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin seperti diberitakan Antara pada Rabu (22/10/2025) menegaskan dirinya belum bisa berkomentar banyak tentang isu pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) yang saat ini sedang berkeliaran.
Meski begitu harus diakui China sekarang sudah menjadi salah satu kekuatan dirgantara terdepan di dunia, mengejar negara-negara Barat dan Rusia. Kemajuan industri dirgantara China adalah wujud tekad kuat dan konsistensi untuk membangun kemandirian di bidang industri alutsista.
Memang ada komentar miring bahwa China sering melakukan copy paste alutsista Barat seperti yang terlihat pada helikopter militer Z-10 yang mirip helikopter Dauphin produksi Aerospatiale/Airbus Helicopter Prancis-Eropa dan helikopter Z-20 yang mirip dengan helikopter UH-60 Blackhawk/S-70 buatan AS sampai-sampai dijuluki sebagai “Copyhawk.” Namun biasanya copy paste yang dilakukan China akan berlanjut dengan pengembangan varian yang lebih baik dari “barang aslinya” dengan memanfaatkan teknologi dan rekayasa dalam negeri.
Berawal dari Lisensi
Industri penerbangan militer China berakar dari kerja sama dengan Uni Soviet selaku negara sesama penganut ideologi komunisme-Marxisme pasca-Perang Dunia II. Pada masa ini, China membeli dan lalu memproduksi pesawat tempur Uni Soviet berdasarkan lisensi dan bantuan kerja sama teknis.
Dari pabrik di China kemudian muncullah serial pesawat tempur berkode J atau Jian, yang berarti pesawat pencegat atau pesawat tempur. Produksi awalnya adalah Shenyang J-5 yang merupakan pesawat produksi China berdasarkan lisensi untuk pesawat jet tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17.
Setelah itu muncul jet Shenyang J-6 yang merupakan produksi lisensi Mikoyan-Gurevich MiG-19. J-6 kemudian diproduksi secara massal hingga mencapai ribuan unit dan menjadi tulang punggung awal Angkatan Udara China atau People’s Liberation Army Air Force (PLAAF).
Namun pada 1960-an China dan Uni Soviet pecah kongsi sehingga semua bentuk kerja sama dan bantuan teknis terputus. Sebagai solusi mempertahankan pemeliharaan dan produksi alutsista asal Uni Soviet, China pun bergerak mandiri membuat pengembangan sendiri atau melakukan reversed engineering terhadap teknologi peninggalan Uni Soviet. Upaya ini tidak selalu lancar karena adanya situasi gejolak politik internal seperti Revolusi Kebudayaan dan Lompatan Jauh ke Depan serta masih terbatasnya penguasaan atas perkembangan teknologi terbaru.

Salah satu hasil dari reversed engineering dan pengembangan mandiri China adalah pesawat jet tempur Chengdu J-7 yang berasal dari desain Mikoyan-Gurevich MiG-21. Pesawat ini kemudian menjadi basis pengembangan lanjutan pesawat tempur China. Dari desain J-7 yang mirip MiG-21, kemudian lahirlah J-8 pada 1980-an yang tampilan dan jeroannya sudah berubah banyak dengan makin tingginya tingkat kandungan komponen dari dalam negeri.
Berubahnya orientasi politik China yang lebih terbuka di era Deng Xiaoping membawa kesempatan bekerja sama dengan pihak Barat untuk pengembangan pesawat generasi terbaru. China pun mendapat akses ke teknologi-teknologi baru yang selama itu belum mereka kuasai.
Namun bentrokan berdarah Tragedi Tiananmen pada 1989 membuat negara-negara Barat kembali menutup pintu terhadap China. Namun China maju terus dalam ambisi membangun pesawat jet tempur generasi ke-4 yang setara F-16 dari AS atau Eurofighter Typhoon hasil kerja sama sejumlah negara Eropa.
Proyek pengembangan Chengdu J-10 pun dimulai pada akhir 1980-an. Desain J-10, terutama konfigurasi sayap delta-canard dan sistem kontrol penerbangan Fly-by-Wire (FBW) yang canggih, banyak diyakini terinspirasi secara signifikan dari program jet tempur Israel yang dibatalkan, yaitu IAI Lavi, yang dibangun berbasis rancangan F-16. China diketahui menjalin hubungan dengan perusahaan teknologi dan penerbangan Israel kala itu.
Setelah Uni Soviet runtuh, Tiongkok kembali beralih ke Rusia. Mereka membeli jet tempur modern Sukhoi Su-27 dan kemudian memproduksinya secara berlisensi (dan dimodifikasi) menjadi Shenyang J-11. Akuisisi ini memberikan Tiongkok akses ke teknologi mesin jet turbofan yang lebih kuat seperti Saturn AL-31FN yang juga digunakan pada prototipe awal J-10.
Makin Mandiri dengan Rancangan Sendiri
Dengan J-10 yang mulai beroperasi pada 2006, Tiongkok telah membuktikan kemampuan mereka merancang jet tempur Generasi 4,5 yang canggih. Namun, lompatan terbesarnya adalah pada dekade berikutnya. J-10 (terutama varian J-10C) menjadi tulang punggung kekuatan udara modern Tiongkok, dilengkapi dengan radar Active Electronically Scanned Array (AESA) dan rudal domestik canggih seperti PL-15.
China melangkah lebih jauh dengan Chengdu J-20 Mighty Dragon yang terbang perdana pada 2011 dan mulai beroperasi pada 2017. J-20 adalah jet tempur siluman Generasi Kelima operasional ketiga di dunia (setelah F-22 dan F-35), dirancang untuk superioritas udara dan serangan presisi.

Pada waktu yang hampir sama, dirilis pula Shenyang J-35 yang sebelumnya diberi kode FC-31 Gyrfalcon. Jet tempur siluman Generasi Kelima ini lebih kecil ukurannya dari J-20 dan diproyeksikan beroperasi dari kapal induk Angkatan Laut China.
Tak kalah pentingnya adalah pengembangan mesin jet secara mandiri. Ketergantungan pada mesin Rusia seperti Saturn-Lyulka AL-31FN secara bertahap digantikan produk dalam negeri seperti Shenyang WS-10 dan WS-15. Ini adalah kunci utama kemandirian teknologi China.
Sejarah pengembangan pesawat tempur China adalah narasi tentang transisi dari meniru dan memproduksi lisensi, melalui perjuangan kemandirian teknologi, hingga akhirnya menjadi pemain global yang inovatif. Dari MiG-17 yang sederhana hingga J-20 yang siluman, China telah mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan dirgantara yang tidak bisa dipandang sebelah mata di abad ke-21.