Kiprah Djoko Suryono Mengabadikan Pawukon Jawa Lewat Lukisan Kaca

October 28, 2025

Kebudayaan Jawa sangat kaya dengan beragam aspek, salah satunya perhitungan waktu baik dan buruk dalam kehidupan keseharian. Perhitungan ini didasarkan pada pawukon, tafsir karakter waktu yang didasarkan pada pengamatan atas siklus alam yang dikaitkan pada watak manusia berdasarkan saat kelahirannya.

Mendiang Djoko Suryono, seorang dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Solo yang juga perupa kemudian menggambarkan aneka pawukon Jawa itu dalam bentuk lukisan kaca. Sejumlah lukisan kaca bertema pawukon Jawa karyanya dipamerkan pada Minggu (26/10/2025) di area Solo Art Market di Koridor Ngarsopuro, Kota Solo. Sunaryo Haryo Bayu, adik mendiang Djoko Suryono, saat dijumpai di lokasi pameran menjelaskan sang kakak yang juga sering dipanggil Pak Jek itu sengaja memilih media lukisan kaca agar karyanya lebih awet.

Yoyok, begitu Sunaryo Haryo Bayu biasa disapa, menuturkan lukisan kaca yang dibuat Djoko menggunakan metode lukis yang berbeda. “Kalau lukisan kaca tradisional kan memang dilukis langsung di kaca. Tapi metode seperti itu tidak awet karena cat bisa mengelupas atau berjamur,” ujar dia.

Teknik Khusus

Metode yang digunakan Djoko adalah terlebih dahulu melukis menggunakan komputer, dan hasil lukisannya kemudian dicetak di atas kaca. Kaca itu kemudian dipanaskan di tungku hingga suhu mencapai 700 derajat Celsius. “Dengan cara ini lukisannya menyatu di kaca, dan kacanya pun jadi sangat kuat seperti tempered glass yang dipakai di mobil,” papar Yoyok. Teknik pemanasan kaca untuk mengawetkan lukisan itu diadopsi dari Eropa di mana kaca lukis yang digunakan sebagai dekorasi gereja-gereja besar juga dikenai perlakuan yang sama sehingga masih awet hingga berabad-abad.

Sayangnya dari 30 wuku atau periodisasi siklus hari dan pekan dalam perhitungan pawukon Jawa, Djoko baru bisa menyelesaikan kurang dari 10 lukisan karena meninggal dunia. Namun dari sedikit yang berhasil dilukisnya, Djoko mampu memberikan gambaran lengkap tentang wuku yang ada yaitu berupa karakter dewa atau tokoh wayang yang terkait dengan wuku tersebut dan hal-hal yang menjadi pantangan bagi wuku tersebut.

“Pelukisan karakter wuku dan pantangan ini di dalam satu bingkai baru kali pertama ini ada karena biasanya wuku hanya digambarkan dalam bentuk karakternya. Ini menurut sejarawan yang saya mintai pendapatnya,” ujar Yoyok. Djoko, imbuh dia, menggambar karakter wuku, penjelasan, dan pantangan yang ada itu berdasarkan manuskrip yang tersimpan di Museum Radya Pustaka Solo dan di perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pengabadian pawukon dalam bentuk lukisan kaca dengan teknik pemanasan itu sekaligus menjadi upaya pelestarian karena para pelukis pawukon tradisional saat ini sudah bisa dibilang punah.

Tak hanya melukis pawukon, Djoko juga melukis penggambaran beberapa macam pesugihan yang dipercaya orang Jawa seperti menggunakan tuyul dan makhluk halus lainnya. Pesugihan adalah pemanfaatkan ilmu gaib untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang lebih cepat, namun cenderung melibatkan ilmu hitam.

“Lukisan pesugihan ini dulunya biasanya dipakai untuk rumah dukun atau dekorasi tukang obat. Tapi yang pelukis model seperti ini sekarang sudah tidak ada dan lukisan-lukisan aslinya yang dari zaman dahulu juga sudah sangat sulit ditemukan karena biasanya sudah rusak,” ujar Yoyok.

Pawukon, Horoskop dalam Kearifan Lokal

Pawukon sendiri adalah salah satu sistem perhitungan waktu tradisional dalam budaya Jawa yang sering disamakan dengan almanak atau horoskop Jawa. Pawukon Jawa memiliki kekhasan, di mana satu siklus Pawukon hanya terdiri atas 210 hari dan tidak memiliki hitungan tahun (mirip dengan kalender Bali yang dipengaruhi Majapahit Jawa). Pembagian waktunya didasarkan pada siklus mingguan, bukan bulanan.

Secara filosofis, sistem perhitungan waktu ini berkait dengan mitologi Jawa, khususnya cerita Raden Watugunung dari Kerajaan Giling Wesi, beserta kedua istrinya (Dewi Sinta dan Dewi Landep) dan 27 anak mereka. Tujuan utama dari perhitungan pawukon adalah untuk mengetahui perangai karakteristik kepribadian seseorang. Makna ikon-ikon dalam pawukon merupakan hasil pemikiran leluhur Jawa yang berasal dari nilai-nilai filosofi pada alam. Ini menghubungkan manusia (mikrokosmos) dengan alam (makrokosmos) untuk mencapai keseimbangan hidup.

Filolog Museum Radya Pustaka Solo, Totok Yasmiran seperti dikutip dalam situs RRI , mengatakan wuku merupakan kata dasar dari pawukon yang mengambarkan watak/karakter seseorang.  Menurutnya, pemahaman tentang wuku bisa difungsikan untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Karakter seseorang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, dari kapan ia dilahirkan.

Sebanyak 30 wuku dalam pawukon Jawa ini memiliki nama yang berbeda-beda yaitu Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut, dan Watugunung.

    Singkatnya, pawukon bukan sekadar kalender, melainkan sebuah kerangka kosmologis dan filosofis yang digunakan untuk menyeimbangkan alam semesta, memprediksi karakter, dan memandu kehidupan spiritual masyarakat Jawa.

    Baca Juga:

    About the author
    B@s