Sinuhun Paku Buwono XII atau Sinuhun PB XIII meninggal dunia pada Minggu (2/11/2025). Wafatnya salah satu pewaris kerajaan Mataram Islam ini diikuti dengan persiapan pemakaman yang tak sembarangan.
Ini semua lantaran wafatnya seorang Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) itu dinilai bukanlah sekadar bagian peristiwa biologis makhluk hidup, kelahiran-kehidupan-kematian. Wafatnya sang raja melibatkan ritual kenegaraan dan spiritual tingkat tinggi. Prosesi ini diatur secara ketat oleh paugeran (aturan adat) Mataram, berfungsi sebagai penutup siklus kehidupan yang sakral, sekaligus penegasan abadi atas legitimasi dinasti.
Filosofi Kematian dalam Kosmologi Jawa: Sangkan Paraning Dumadi
Dalam pandangan masyarakat Jawa, khususnya tradisi Keraton, kematian dipahami melalui konsep fundamental Sangkan Paraning Dumadi, yang berarti ‘asal dan kembali ke asal’. Kematian bukanlah titik akhir (lenyap) eksistensi, melainkan transisi jiwa menuju alam baka. Keyakinan ini menuntut bahwa perjalanan kepulangan Sang Raja harus dilakukan dalam keadaan suci dan terhormat, memastikan jiwa dapat melanjutkan kehidupannya dengan sempurna di sisi Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, ketika seorang raja seperti Sinuhun PB XIII meninggal dunia, ritual kematiannya pun dirancang untuk mempertahankan hubungan spiritual antara yang hidup (kerabat dan rakyat) dengan yang telah meninggal (leluhur), sebuah esensi dari pelestarian tradisi.
Kawasan Keraton Surakarta sendiri secara filosofis terhubung erat dengan siklus hidup manusia , di mana perjalanan jenazah Raja dari dalam keraton hingga ke pemakaman merupakan sebuah ritual geografi. Setiap gerbang dan rute yang dilalui jenazah merepresentasikan tahapan spiritual dalam perjalanan jiwa kembali ke sumbernya, sebuah pemetaan kosmos di dunia nyata. Hal ini menjelaskan mengapa modifikasi logistik, seperti penggunaan kendaraan modern, harus tetap terikat pada rute dan titik pemberhentian sakral yang telah ditetapkan sejak masa lampau.
Posisi Raja sebagai Pemimpin Spiritual dan Penjaga Paugeran
Raja Surakarta dipandang sebagai penjaga utama nilai-nilai luhur budaya Jawa. Akibatnya, prosesi pemakaman Raja menjadi manifestasi tertinggi dari sinkretisme budaya Jawa dan ajaran Islam yang telah menyatu dalam tradisi Wong Islam Jawa. Meskipun ritualnya kaya akan simbolisme Hindu-Jawa kuno, seperti tangga suci di Imogiri atau ritual Siraman, integrasi ketaatan Islam diwujudkan melalui tahapan krusial seperti kewajiban salat jenazah di Masjid Pajimatan Imogiri.
Kebutuhan untuk menyesuaikan paugeran dengan kondisi zaman modern menjadi tantangan yang terstruktur. Misalnya, dalam penentuan tata cara pemakaman SISKS Paku Buwono (PB) XII, pihak Keraton secara eksplisit memilih untuk meniru protokol pemakaman PB XI. Keputusan ini menunjukkan bahwa adaptasi—seperti penggunaan mobil jenazah—sudah dilegitimasi oleh preseden raja pendahulu. Pemilihan model ini memastikan bahwa meskipun logistik berubah, esensi spiritual dan otoritas ritual tetap tegak berdasarkan paugeran tertinggi Mataram.

Ritual Pensucian dan Persemayaman di Keraton
Tahapan pertama ritual kematian Raja terjadi secara eksklusif di dalam baluwarti (tembok lingkar terdalam keraton), berfokus pada penyucian dan penghormatan oleh keluarga inti.
Setelah wafat, jenazah Raja disemayamkan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selama masa persemayaman ini, keluarga besar dan para tamu kehormatan berkesempatan melayat dan menyampaikan duka cita. Persiapan jenazah, yang mencakup pemandian dan persemayaman, diawasi secara ketat oleh abdi dalem dan kerabat.
Penentuan hari dan waktu pemakaman merupakan bagian integral dari ritual ini. Waktu yang dipilih haruslah mustika atau membawa keberuntungan spiritual. Pemilihan waktu ini menegaskan pencarian keselarasan kosmik agar perjalanan spiritual Raja berjalan lancar.
Ritual Siraman (pemandian) jenazah Raja, meskipun bersifat sangat tertutup, mengikuti kaidah penyucian Jawa yang mendalam. Ritual ini bertujuan membersihkan raja secara fisik dan spiritual (lahir dan batin) sebelum kembali kepada Sang Pencipta.
Dalam tradisi Jawa, air yang digunakan dalam Siraman melambangkan kesucian dan keberkahan. Air suci biasanya diambil dari tujuh sumber mata air (pitu), yang secara filosofis melambangkan pitulungan (pertolongan atau rahmat Tuhan). Air ini kemudian dicampur dengan bunga-bunga wangi seperti melati, mawar, dan kenanga, yang melambangkan harapan agar nama baik dan kehormatan Raja tetap harum abadi. Melalui prosesi ini, Raja diharapkan telah mencapai kesucian sempurna untuk menjalani perjalanan abadi.
Transisi Ruang Sakral
Ritual perpisahan inti dilakukan di dalam keraton. Jenazah Raja dibawa dari Sasana Parasdya menuju Bangsal Maligi. Di halaman Bangsal Maligi, dilaksanakan Upacara Brobosan, sebuah ritual yang sangat intim dan memiliki makna spiritual mendalam. Seluruh kerabat (sentana) wajib memberikan penghormatan terakhir dengan cara melewati di bawah keranda jenazah. Tindakan ini melambangkan pengakuan atas kewibawaan Raja yang abadi dan permohonan restu sebelum Raja sepenuhnya meninggalkan dunia fana.
Tingkat kontrol atas ritual ini sangat tinggi. Pembatasan ketat terhadap siapa yang bisa hadir mengindikasikan bahwa Keraton memprioritaskan fungsi sakral (penyempurnaan ritual demi perjalanan jiwa Raja) di atas fungsi sosial (penghormatan publik massal). Ini menegaskan kontrol absolut Keraton atas tubuh Raja dan jalannya paugeran.
Kirab Agung: Perjalanan Raja di Tengah Rakyat (Adaptasi dan Simbolisme Transportasi)
Tahap Kirab Agung menandai keluarnya jenazah Raja dari kompleks Keraton menuju peristirahatan terakhirnya di Imogiri. Prosesi ini adalah perpaduan antara tradisi pusaka kuno dan adaptasi logistik modern.
Di dalam area Keraton, jenazah dinaikkan ke Kretalaya (kereta jenazah) buatan PB X, sebuah kendaraan pusaka yang sakral. Kereta ini dipersiapkan dan diurus oleh Abdi Dalem bagian Citro dan hanya digunakan untuk mengantarkan Raja ke pemakaman.
Namun, karena jarak yang jauh menuju Imogiri, Keraton telah mengadopsi moda transportasi modern. Penggunaan mobil jenazah diputuskan karena dinilai sudah sesuai dengan kondisi kontemporer, sebuah keputusan yang dilegitimasi dengan meniru tata cara pemakaman PB XI. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi Keraton memiliki mekanisme adaptasi yang fleksibel asalkan tetap mengacu pada paugeran yang sah.
Perjalanan jenazah Sang Raja mengikuti rute penting yang memisahkan Keraton dengan wilayah publik. Jenazah dibawa keluar kompleks Keraton ke selatan, melintas Alun-alun Selatan atau Alun-alun Kidul, melewati Gapura Gading, kemudian menyusuri jalan-jalan utama Kota Solo seperti Jl. Veteran dan Jl. Slamet Riyadi.
Dalam perencanaan terakhir terkait prosesi pemakaman Sinuhun PB XIII, titik kunci dalam kirab ini adalah pemberhentian di Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Solo. Lokasi ini menjadi kesempatan terakhir bagi masyarakat umum Surakarta untuk memberikan penghormatan massal kepada Raja mereka. Prosesi ini merupakan penegasan kedaulatan terakhir Raja di wilayahnya, sebuah pembenaran publik atas otoritas monarki sebelum jenazah diserahkan untuk perjalanan regional ke Imogiri. Di sini jenazah dipindahkan dari kereta ke mobil jenazah untuk selanjutnya menempuh perjalanan panjang ke Imogiri.