Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Paku Buwono XIII atau Sinuhun PB XIII yang wafat pada Minggu (2/11/2025) bakal dimakamkan di kompleks permakaman raja-raja dan kerabat Kerajaan Mataram Islam di Imogiri, Bantul.
Kompleks makam Imogiri sendiri dibangun oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1632. Pemilihan lokasi untuk permakaman Kerajaan Mataram Islam di Bukit Merak didasarkan pada keyakinan filosofis. Sultan Agung memilih makam di tempat tinggi—sebuah bukit—sejalan dengan kepercayaan kuno Jawa bahwa arwah leluhur bersemayam di puncak yang paling dekat dengan langit. Nama Imogiri sendiri bermakna ‘Gunung Berawan’ atau ‘Gunung Tinggi’, sementara Pajimatan berarti ‘tempat pusaka’ atau amulet, menegaskan bahwa tempat ini adalah pusaka spiritual yang melekat pada kedaulatan Mataram.
Meskipun Keraton Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1755, Imogiri tetap dipertahankan sebagai permakaman bersama. Hal ini merupakan pernyataan spiritual bahwa secara leluhur, kedua dinasti tersebut tetap merupakan satu kesatuan Mataram, sumber legitimasi historis yang tidak bisa dipisahkan oleh perjanjian politik.
Kompleks Imogiri yang luasnya mencapai 10 hektar ini dibagi menjadi delapan kelompok makam yang disebut Kedhaton. Untuk Kasunanan Surakarta Hadiningrat, raja-raja dan keluarga terdekatnya dimakamkan di sisi barat, yang dikenal sebagai Kedhaton Pakubuwanan (atau Kadhaton Bagusan/Kasuwargan).
Terdapat simbolisme arsitektur yang mendalam dalam kompleks ini:
- Tangga Keabadian: Untuk mencapai Kedhaton, jenazah harus diusung menaiki sekitar 300 hingga 400 anak tangga.5 Pengusungan jenazah dengan tandu menaiki tangga ini adalah ritual yang paling berat secara fisik. Dalam konteks spiritual, hal ini secara simbolis mewujudkan “beratnya” atau “kesulitan” perjalanan jiwa menuju keabadian (Kasuwargan), menegaskan bahwa kembalinya Raja ke asal membutuhkan usaha dan pemurnian.
- Enceh (Padasan): Di halaman Kamandhungan terdapat gentong air suci (padasan atau enceh) yang berasal dari berbagai negara, seperti Kyai Mendhung dan Nyai Siyem (dari Turki dan Siam). Enceh ini diisi air setahun sekali pada bulan Suro. Kehadiran enceh dari berbagai penjuru dunia menyiratkan kosmopolitanisme spiritual dan jangkauan universal yang melekat pada dinasti Mataram.
- Kelir: Tembok penghalang yang ditempatkan di belakang setiap gapura masuk. Kelir berfungsi menjaga kesakralan internal makam, menghalangi pandangan langsung dari luar, dan melindungi dari pengaruh negatif.
Prosesi Pemakaman di Imogiri
Setelah mobil jenazah Raja tiba di kompleks Pajimatan Imogiri bagian bawah, dilakukan ritual serah terima jenazah yang formal. Jenazah diserahkan dari utusan atau wakil Keraton kepada otoritas spiritual lokal, yaitu Bupati Juru Kunci Makam Imogiri.
Bupati Juru Kunci adalah pejabat Abdi Dalem yang dilantik secara resmi oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Peran sentral Bupati Juru Kunci ini berfungsi sebagai simbol transfer tanggung jawab temporal Raja kepada otoritas spiritual leluhur di lokasi abadi. Pelantikan pejabat ini memastikan bahwa otoritas dan paugeran Kasunanan Surakarta Hadiningrat ditegakkan secara sempurna, bahkan di wilayah yang secara administratif berada di luar Solo. Juru Kunci juga bertanggung jawab memastikan bedhah bumi (penggalian liang lahat) dilakukan sesuai perintah langsung dari Pengageng Keraton.
Sebagai bagian dari integrasi Islam dan tradisi Jawa, jenazah Raja wajib disemayamkan dan disalatkan di Masjid Pajimatan Imogiri, yang berada di dekat tangga naik kompleks makam. Salat jenazah dipimpin oleh penghulu masjid, mengukuhkan ketaatan spiritual Raja dan Keraton pada syariat Islam sebelum dimakamkan. Pada saat pemakaman PB XII, jenazah juga dibawa singgah ke Masjid Kota Gede, menegaskan kesinambungan ritual keagamaan di situs-situs Mataram tua.
Seusai disalatkan, jenazah diusung menggunakan tandu untuk memulai pendakian spiritual, menapaki sekitar 400 anak tangga menuju Kedhaton Pakubuwanan. Jenazah kemudian dimakamkan di Kedhaton Surakarta, biasanya di dekat makam raja pendahulu yang memiliki kedekatan silsilah, seperti di Kedhaton PB X.
Setelah penguburan, nisan (batu penanda makam) menjadi simbol fisik terakhir status Raja. Di Imogiri, nisan dibuat dari berbagai jenis batu seperti andesit dan pualam. Terdapat perbedaan simbolis yang dijaga ketat: nisan untuk pria (Raja atau kerabat pria) bagian atasnya dibuat runcing, sedangkan nisan untuk wanita bagian atasnya tumpul atau membulat. Detail arsitektural ini merupakan manifestasi fisik terakhir dari perbedaan status, peran, dan hierarki di dunia yang tetap dipertahankan bahkan dalam peristirahatan abadi.
Kematian Raja dan upacara pemakamannya tidak mengakhiri tanggung jawab Keraton; sebaliknya, itu memperkuat pentingnya pelestarian dan kontinuitas ritual sebagai penjaga warisan budaya Jawa.
Peran Abdi Dalem sangat penting dalam memastikan paugeran Keraton diimplementasikan dengan benar, baik selama prosesi pemakaman maupun dalam ritual tahunan pasca-pemakaman. Abdi Dalem yang bertugas di kompleks makam Mataram, termasuk di Imogiri dan Kotagede, berperan sebagai perawat makam dan pelaksana tradisi.
Ritual tahunan seperti Tradisi Jenang Suran yang digelar di Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Bantul, melibatkan Abdi Dalem dari Surakarta dan Yogyakarta. Ritual ini dilaksanakan pada malam satu Suro (Tahun Baru Islam/Jawa) sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan bagi raja dan rakyat.
Tradisi Nyadran merupakan praktik populer di Jawa yang dilakukan menjelang bulan Ramadan. Ritual ini melibatkan kegiatan membersihkan makam, mengirim doa untuk leluhur, dan makan bersama di pemakaman (kembul bujana). Tradisi ini dilakukan di berbagai situs leluhur, termasuk petilasan Keraton Kartasura, cikal bakal Keraton Surakarta.
Meskipun pemakaman Raja adalah ritual eksklusif elit, Nyadran melibatkan masyarakat umum dalam pembersihan dan doa bersama, memberikan akses kepada rakyat untuk berinteraksi dengan spiritualitas Keraton. Melalui keterlibatan publik dalam penghormatan leluhur, Keraton secara tidak langsung memperkuat legitimasi dan dukungan publik terhadap kesinambungan tradisi monarki Jawa.
Peristiwa pemakaman Raja menjadi pengingat publik akan pentingnya pelestarian budaya (nguri-uri). Tantangan kontemporer meliputi adaptasi logistik (penggunaan mobil jenazah) dan penyesuaian protokol.
Lebih lanjut, upaya pelestarian juga harus diarahkan pada situs-situs sejarah yang menjadi cikal bakal Keraton, seperti petilasan Kartasura. Masyarakat dan komunitas budaya berupaya menjadikan situs tersebut ruang publik yang terawat dan berfungsi untuk event seni budaya, memastikan bahwa sejarah dan warisan leluhur Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak terbengkalai.
Tata cara pemakaman Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah paugeran yang sakral, melambangkan perjalanan tertinggi jiwa kembali ke asal (Sangkan Paraning Dumadi). Prosesi ini adalah jalinan yang kompleks antara protokol kerajaan, tuntutan spiritual Islam, dan filosofi Jawa kuno.
Kekuatan ritual ini terletak pada kemampuan Keraton untuk menggabungkan tradisi pusaka (seperti Kretalaya, Siraman, dan Brobosan) dengan kebutuhan logistik modern (mobil jenazah), yang dilegitimasi melalui referensi protokol raja pendahulu. Setiap langkah, mulai dari penyucian air pitu hingga pendakian 400 anak tangga Imogiri, memiliki bobot simbolis yang mewakili pemurnian dan kesulitan jalan menuju keabadian.
Pemakaman di Astana Imogiri menegaskan identitas Surakarta sebagai pewaris Mataram Islam, sementara struktur makam yang terbagi (Kedhaton Pakubuwanan) menunjukkan otonomi spiritual dalam kesatuan leluhur Mataram bersama Yogyakarta. Pengawasan ritual yang ketat, terutama melalui peran Bupati Juru Kunci, memastikan bahwa otoritas Keraton Surakarta meluas dan berakar kuat di pusat spiritual dinasti.
Secara keseluruhan, prosesi kematian Raja adalah penegasan final atas kedaulatan, bukan hanya dalam ranah politik, tetapi yang paling utama, dalam ranah spiritual dan budaya Jawa. Ritual ini berfungsi sebagai katalis untuk memperkuat ikatan antara Raja, leluhur, Abdi Dalem, dan rakyatnya, memastikan kesinambungan warisan Mataram hingga masa depan.
Baca Juga:
Sinuhun PB XIII Meninggal Dunia, Persiapan Pemakamannya Tak Sembarangan