Gubernur Riau Ditangkap KPK, Begini Jejak Panjang Korupsi Sejak Era Kolonial

November 5, 2025

Abdul Wahid menjadi Gubernur Riau keempat yang ditangkap KPK terkait kasus tindak pidana dugaan korupsi. Diketahui, Gubernur Riau ditangkap KPK pertama adalah Saleh Djasit terkait dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran.

Gubernur Riau ditangkap KPK untuk selanjutnya adalah Rusli Zainal yang terjerat dugaan korupsi dalam penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau, dan penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman.

Gubernur Riau ditangkap KPK yang ketiga adalah Annas Maamun terkait kasus dugaan korupsi dalam alih fungsi lahan di Riau. Sedangkan Abdul Wahid yang ditangkap pada 3 November 2025 menjadi tersangka bersama Kepala Dinas PUPRPKPP Riau M. Arief Setiawan (MAS), dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam (DAN).

Korupsi kepala daerah di Indonesia bukanlah fenomena baru yang muncul tiba-tiba dalam ruang hampa historis. Ia adalah penyakit kronis yang akarnya telah menjalar sangat dalam, menembus lapisan-lapisan perubahan rezim, dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang feodal dan ekstraktif hingga negara Indonesia modern yang demokratis dan birokratis.

Praktik penggelapan, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi telah menjadi narasi yang terus berulang, melibatkan aktor-aktor kunci dalam struktur pemerintahan, terutama mereka yang berada di tingkat kepala daerah yang melahirkan korupsi kepala daerah. Dari para bupati yang diangkat sebagai “raja kecil” oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelancaran sistem tanam paksa, hingga para gubernur dan bupati di era reformasi yang sering kali terjaring dalam operasi tangkap tangan, pola perilaku ini menunjukkan sebuah kontinuitas yang memprihatinkan.

Analisis mendalam terhadap korupsi di masa kolonial dan perbandingannya dengan praktik serupa di Indonesia kontemporer tidak hanya bertujuan untuk mengungkap sejarah kelam, tetapi juga untuk memahami mekanisme, motivasi, dan kondisi struktural yang memungkinkan penyakit ini terus bertahan hidup dan berkembang biak.

Dengan melacak jejaknya dari masa lalu, kita dapat melihat dengan lebih jelas bagaimana korupsi telah membentuk budaya birokrasi, merusak legitimasi pemerintah, dan terutama, menghisap sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Tulisan ini akan mengupas bagaimana praktik korupsi yang terstruktur di era Hindia Belanda, khususnya yang melibatkan pejabat pemerintah dan kepala daerah, tidak hanya menjadi warisan berat tetapi juga memberikan cetak biru bagi praktik serupa yang marak terjadi di Indonesia saat ini, sehingga memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana kita telah benar-benar melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial dalam hal pemberantasan korupsi?

Akar Korupsi Era Kolonial

Praktik korupsi kepala daerah di Nusantara, yang secara sistematis merajalela di era kolonial Hindia Belanda, bukanlah entitas yang tiba-tiba ada, melainkan evolusi dari sebuah struktur kekuasaan yang dirancang untuk ekstraksi kekayaan semaksimal mungkin untuk kepentingan metropolis. Benih-benih ini telah ditanam jauh sebelum pemerintahan kolonial secara formal terbentuk, namun ia tumbuh subur dan menjadi monster yang merusak di bawah naungan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan mencapai puncaknya selama periode Tanam Paksa (Cultuurstelsel).

Di era VOC, sebuah kongsi dagang yang sekaligus berfungsi sebagai negara dalam negara, korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari mekanisme pemerintahan. Para pejabat tinggi pemerintah, yang disebut Hooge Regeering, seringkali merangkap jabatan dan terlibat dalam berbagai praktik penyelewengan, termasuk menerima suap dan melakukan penggelapan dana. Situasi ini diperparah oleh sistem penggajian yang sangat rendah bagi para pejabat, yang mendorong mereka untuk mencari sumber pendapatan lain di luar jalur resmi, seringkali dengan cara-cara yang tidak etis dan melanggar hukum.

Mentalitas pejabat Hindia Timur yang lemah ini menjadi fondasi bagi sebuah budaya korupsi yang melembaga, di mana kekayaan pribadi diutamakan di atas tanggung jawab publik. Bahkan, pada tahun 1804, pemerintah Belanda secara resmi memasukkan penggelapan uang negara dan suap sebagai tindak pidana korupsi dalam hukumnya, sebuah indikasi jelas bahwa masalah ini telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.

Kebangkrutan VOC sendiri pada akhir abad ke-18 tidak terlepas dari praktek korupsi, penyelewengan, dan inefisiensi yang merajalela di internal organisasi tersebut, yang menunjukkan bagaimana korupsi tidak hanya merusak moral tetapi juga menggerogoti stabilitas kekuasaan. Bahkan saat itu muncul ejekan bahwa singkatan VOC artinya vergaan onder corruptie alias runtuh karena korupsi.

Salah satu contoh paling ikonik dari korupsi di masa transisi kekuasaan dari VOC ke pemerintahan kerajaan Belanda adalah terjadi di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Daendels, yang dikenal dengan pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 km, justru menjadi saksi maraknya korupsi di kalangan birokrat pribumi.

Meskipun Daendels dikenal keras dalam memberantas korupsi di kalangan pejabat Eropa, sistem yang ia terapkan justru menciptakan ruang baru bagi penyelewangan oleh para kepala daerah pribumi, terutama bupati. Proyek pembangunan jalan yang megah itu memakan banyak korban jiwa—sekitar 12.000 orang—dan dilaksanakan melalui sistem kerja rodi atau kerja paksa.

Para pekerja yang direkrut untuk proyek ini seharusnya menerima upah dari pemerintah kolonial. Namun, kenyataan di lapangan, upah tersebut seringkali tidak disalurkan secara utuh kepada para pekerja karena dikorupsi oleh para bupati yang bertanggung jawab atas pengumpulan tenaga kerja di wilayah masing-masing.

Praktik ini menjadi salah satu catatan awal tentang bagaimana para bupati, yang dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial di tingkat lokal, justru memanfaatkan posisi mereka untuk mengeksploitasi rakyat jelata demi memperkaya diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat kolonial Eropa, tetapi juga oleh pejabat pribumi yang berkolaborasi dengan sistem penjajahan.

Puncak dari institutionalized corruption (korupsi yang dilembagakan) di era Hindia Belanda terjadi selama pelaksanaan sistem Tanam Paksa (1830-1870) di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Sistem ini, yang dirancang untuk mengisi kekosongan kas pemerintah kolonial pasca perang dengan Prancis dan Pangeran Diponegoro, mengharuskan petani untuk menyisihkan 20% lahannya untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi, teh, dan tebu.

Untuk menjalankan sistem ini secara efisien, pemerintah kolonial tidak mengandalkan pegawai Eropa yang jumlahnya terbatas, tetapi justru mempekerjakan para bupati sebagai agen pelaksana utama. Para bupati diberikan imbalan berupa honorarium dan bonus yang besarnya tergantung pada jumlah hasil panen dari wilayah mereka.

Sistem inilah yang menjadi pemicu utama maraknya korupsi di kalangan para bupati. Motivasi untuk mendapatkan bonus sebanyak-banyaknya mendorong mereka untuk bertindak sewenang-wenang. Banyak bupati yang memaksakan lahan pertanian digunakan 100% untuk tanaman komoditas, melampaui batas 20% yang telah ditetapkan, sehingga mengabaikan tanaman pangan seperti padi. Akibatnya, kelaparan dan penyakit meluas di kalangan petani karena gagal panen tanaman pangan mereka. Para bupati, yang hidup bak “raja kecil” dengan pendapa megah dan seragam kebanggaan, menikmati kekayaan hasil pemerasan tersebut.

Kisah-kisah tentang kesewenang-wenangan mereka, seperti yang dilakukan Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara, yang dipotret dengan tajam oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli) dalam novel masterpiece-nya, Max Havelaar, menjadi bukti sastrawi betapa korup dan buruknya perlakuan para pejabat lokal terhadap rakyatnya. Novel ini mengungkap bagaimana Bupati Lebak memeras warga dengan meminta hasil bumi dan ternak, serta menerapkan kerja rodi, sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan.

Ironisnya, ketika Douwes Dekker melaporkan hal ini kepada atasannya, ia justru diabaikan dan diberi peringatan keras. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial seringkali menutup mata terhadap praktik korupsi para bupati, selama kepentingan ekonomi kolonial terpenuhi. Para residen Belanda sering menganggap pemerasan kecil sebagai “adat” yang tidak perlu ditindak. Struktur ini menciptakan lingkungan di mana korupsi tidak hanya diizinkan, tetapi didorong oleh desain sistem itu sendiri, menjadikan para bupati sebagai alat ekstraksi yang efektif namun sangat merusak.

Korupsi di Demokrasi

Lebih dari tujuh dekade setelah Indonesia merdeka, warisan korupsi dari era kolonial sepertinya masih melekat kuat dalam tubuh birokrasi negara. Praktik penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi yang dulunya dilakukan oleh para bupati “raja kecil” di bawah bayang-bayang pemerintah Hindia Belanda, kini menemukan manifestasi modernnya dalam tindakan para kepala daerah, mulai dari tingkat bupati, wali kota, hingga gubernur.

Meskipun konteks politik dan hukum telah berubah secara drastis—dari negara jajahan menjadi negara berdaulat dengan lembaga anti-rasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—pola perilaku koruptif yang menyeret sumber daya publik ke dalam kantong pribadi pejabat ternyata masih sangat relevan.

Data dari KPK menunjukkan angka yang sangat mencengangkan: antara tahun 2024 hingga Mei 2025, KPK telah menjerat 201 kepala daerah dalam berbagai kasus korupsi. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cerminan dari sebuah krisis integritas yang mendalam di kalangan pemimpin daerah, yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan dan kesejahteraan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun sudah memiliki payung hukum dan lembaga pengawas, godatan korupsi tetap kuat, bahkan mungkin semakin canggih dan terstruktur. Para kepala daerah, yang memiliki kewenangan luas atas anggaran dan proyek-proyek pembangunan di daerahnya, menjadi target empuk bagi praktik suap, gratifikasi, dan penggelembungan anggaran.

Mereka yang seharusnya menjadi pelindung uang rakyat, justru berbalik menjadi predatornya, mengulangi sejarah kelam di masa kolonial di mana para penguasa lokal menjadi alat eksploitasi untuk kepentingan pihak lain, yang kali ini bukan hanya kepentingan sebuah imperium jauh, tetapi juga kepentingan pribadi dan kroni politik mereka sendiri.

Selama sepuluh tahun terakhir, khususnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024), setidaknya ada 11 gubernur yang harus berurusan dengan hukum karena tersandung kasus korupsi. Daftar ini mencakup berbagai nama dari berbagai provinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa masalah ini bersifat nasional dan tidak terbatas pada wilayah tertentu.

Salah satu kasus yang menonjol adalah Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho, yang bahkan memecahkan rekor dengan menjadi tersangka dalam empat kasus korupsi sekaligus, yang meliputi suap kepada anggota DPRD, korupsi dana bantuan sosial (bansos), dan suap kepada pejabat penegak hukum. Kasus ini menggambarkan bagaimana seorang kepala daerah bisa dengan sistematis membongkar anggaran daerah dan menggunakan uang suap untuk mengamankan kekuasaannya.

Contoh lain adalah Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang divonis 12 tahun penjara karena terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp1,59 triliun dan menerima gratifikasi Rp40,268 miliar terkait perizinan tambang. Ini adalah contoh bagaimana kewenangan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh seorang gubernur disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri dan pihak lain.

Kasus Gubernur Jambi, Zumi Zola, juga tidak kalah mencengangkan. Ia divonis enam tahun penjara karena menerima gratifikasi Rp49 miliar dan menyuap 53 anggota DPRD Jambi sebesar Rp16,34 miliar untuk “mengetuk palu” pengesahan APBD. Praktik “uang ketuk palu” ini menjadi sebuah modus operandi yang umum di mana anggaran daerah, yang seharusnya menjadi alat untuk pelayanan publik, dikotori dengan praktik suap-menyuap.

Tren ini tidak berhenti; pada tahun 2024, KPK kembali menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan lapangan sepak bola, Samsat terpadu, dan kolam renang dengan nilai total mencapai Rp54 miliar. Dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK mengamankan uang sekitar Rp12 miliar yang diduga merupakan imbalan untuk Gubernur.

Sementara itu, Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan gratifikasi dengan mengumpulkan uang dari para kepala dinas di lingkungannya untuk keperluan kampanye Pilkada, dengan total uang yang disita mencapai Rp7 miliar. Kasus-kasus ini menunjukkan pola yang konsisten: kepala daerah menggunakan kewenangan mereka untuk mengatur proyek, menentukan pemenang tender, atau memanipulasi anggaran demi menerima aliran dana ilegal yang sangat besar.

Tidak hanya di tingkat provinsi, korupsi juga merajalela di tingkat kabupaten dan kota, di mana para bupati dan wali kota terlibat dalam berbagai skandal. Mereka yang seharusnya menjadi pemimpin terdepan dalam melayani masyarakat, justru menjadi agen kerugian negara. Pada tahun 2024 saja, sejumlah bupati dan wali kota telah menjadi tersangka.

Bupati Labuhanbatu, Erik Adtrada Ritonga, misalnya, diduga menerima suap dan melakukan intervensi terhadap sejumlah proyek pengadaan di Dinas Kesehatan dan PUPR dengan nilai mencapai Rp19,9 miliar. Ia diduga meminta “kutipan/kirahan” dari para kontraktor yang ingin memenangkan proyek.

Di Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali, tersandung kasus pemotongan dana insentif para pegawai Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD). Dari OTT, KPK mengamankan uang tunai Rp69,9 juta dan menyita total dana yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp2,7 miliar dari pemotongan 10-30 persen insentif ASN. Kasus ini sangat menyedihkan karena melibatkan pemotongan hak-hak pegawai negeri yang telah bekerja keras meningkatkan pendapatan daerah.

Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa, pemerasan terhadap pegawai negeri atas insentif pajak dan retribusi, serta penerimaan gratifikasi. Kasus lainnya menimpa Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, yang diduga menerima jatah uang sebesar Rp2,5 miliar dari pemotongan anggaran makan minum pada APBD 2024. Deretan kasus ini, dari Sabang hingga Merauke, menunjukkan bahwa korupsi di tingkat kepala daerah adalah masalah sistemik. Modusnya mungkin berbeda-beda  tetapi intinya sama: penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok, yang pada akhirnya merugikan negara dan menghambat pembangunan.

Keterkaitan Korupsi Era Kolonial dan Demokrasi Modern

Membandingkan praktik korupsi di era kolonial Hindia Belanda dengan yang terjadi di Indonesia kontemporer mengungkapkan sebuah paralelisme yang mengejutkan, menunjukkan bahwa meskipun bentuk dan konteksnya telah berubah, esensi dan pola dasar perilaku koruptif tersebut tetaplah sama. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan indikasi bahwa terdapat mekanisme struktural dan budaya kekuasaan yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Analisis perbandingan ini akan fokus pada tiga aspek utama: peran kepala daerah sebagai “raja kecil”, modus operandi korupsi, dan hubungan antara korupsi dan legitimasi politik.

Paralelisme yang paling mencolok terletak pada peran kepala daerah sebagai pusat kekuasaan yang sulit dikontrol. Di era kolonial, bupati sengaja diangkat menjadi “raja kecil” oleh Van den Bosch untuk menciptakan stabilitas dan memastikan sistem Tanam Paksa berjalan lancar [28]. Mereka diberi kekuasaan absolut atas rakyatnya, dan sebagai gantinya, mereka menjamin aliran kekayaan ke kas kolonial. Struktur feodal ini menciptakan hubungan simbiosis yang parasit antara pemerintah kolonial dan para bupati, di mana rakyat menjadi korban utamanya.

Di Indonesia modern, meskipun dalam bingkai demokrasi, para kepala daerah seringkali memiliki kewenangan yang sangat besar dan kontrol yang lemah dari lembaga lain di daerahnya. Kekuasaan atas anggaran, proyek, dan perizinan membuat mereka menjadi pusat distribusi sumber daya ekonomi.

Kondisi ini, jika tidak diimbangi dengan integritas pribadi dan sistem pengawasan yang ketat, akan dengan mudah menelurkan perilaku “raja kecil” modern, di mana kepala daerah dan kroninya menguasai hampir semua aspek ekonomi dan politik di daerah. Kekuasaan ini kemudian dikomersialkan, mirip dengan para bupati di era Tanam Paksa yang menjual perlindungan dan keringanan pajak kepada desa-desa.

Modus operandi korupsi juga menunjukkan kesamaan yang mengkhawatirkan, meskipun dengan “pakaian” yang berbeda. Jika di masa kolonial, bupati memeras rakyat dengan meminta hasil bumi dan tenaga kerja secara langsung, di era modern, para kepala daerah memeras melalui mekanisme yang lebih halus dan birokratis: pemotongan anggaran, pungutan liar (pungli) dalam perizinan, atau menerima suap (fee) dari proyek-proyek pembangunan. Intinya sama: menyalahgunakan kewenangan untuk mengalirkan uang dari kas publik ke kantong pribadi.

Kasus Bupati Sidoarjo yang memotong insentif pegawai BPPD, secara prinsip tidak berbeda jauh dengan bupati kolonial yang memungut pajak tambahan dari rakyat untuk menutupi kerugian akibat ketidakmampuan memenuhi kuota. Keduanya adalah bentuk ekstraksi ilegal dari pihak yang lebih lemah.

Bahkan, motivasi di balik korupsi pun memiliki paralel. Para bupati kolonial membutuhkan banyak uang untuk membiayai gaya hidup mewah mereka, yang mencakup memelihara keluarga besar, mengadakan pesta, dan memberi makan para abdi dalemnya. Di era modern, biaya politik yang sangat tinggi, terutama untuk kampanye dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), menjadi salah satu pemicu utama korupsi.

Kasus Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang diduga menggalang dana dari para kepala dinas untuk kampanyenya, adalah contoh nyata bagaimana kebutuhan pembiayaan politik mendorong seorang kepala daerah melakukan praktik korupsi. Ini adalah transformasi dari “biaya untuk mempertahankan status feodal” menjadi “biaya untuk mempertahankan kekuasaan elektoral”.

Terakhir, terdapat paralel dalam hal hubungan antara korupsi dan legitimasi politik. Di era kolonial, para bupati yang korup tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda selama mereka dianggap berguna secara politis untuk menjaga ketertiban dan mengamankan aliran kekayaan.

Tindakan tegas jarang diambil terhadap mereka, terutama jika dibandingkan dengan priayi tingkat rendah yang tidak memiliki pengaruh politik. Di Indonesia modern, meskipun ada KPK yang aktif, masih ada celah bagi para koruptor untuk kembali bermain di panggung politik. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa 138 calon kepala daerah dalam Pilkada 2024 diduga terlibat kasus korupsi.

Evolusi Korupsi Kepala Daerah Pascareformasi

Melihat tren korupsi kepala daerah dari waktu ke waktu memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana praktik ini berevolusi di era demokrasi dan otonomi daerah. Data yang dihimpun oleh Katadata dari tahun 2004 hingga 2019 menunjukkan fluktuasi yang signifikan, namun dengan kecenderungan peningkatan yang mengkhawatirkan, terutama di tingkat bupati dan wali kota.

Pada periode awal (2004-2009), jumlah kepala daerah yang terjerat cenderung rendah, mungkin karena KPK masih dalam tahap membangun kapasitas dan reputasinya. Namun, memasuki pertengahan dekade 2010-an, terjadi peningkatan yang cukup tajam. Tahun 2014 menjadi salah satu titik puncak, di mana 12 bupati/wali kota dan 3 gubernur terjerat kasus korupsi.

Puncak tertinggi terjadi pada tahun 2018, di mana sebanyak 30 bupati/wali kota ditangani KPK, sebuah angka yang menunjukkan betapa parahnya masalah ini di level pemerintahan kabupaten dan kota.

Tren ini bisa dihubungkan dengan gelombang Pilkada serentak yang mulai digulirkan pada 2015. Otonomi daerah yang luas, yang seharusnya membawa pemerintahan lebih dekat ke rakyat, justru membuka celah korupsi yang lebih besar.

Kepala daerah yang terpilih langsung memiliki kewenangan yang sangat besar atas anggaran daerah (APBD), proyek-proyek pembangunan, dan penerbitan izin. Tanpa sistem pengawasan yang memadai dan integritas pribadi yang kuat, kewenangan ini mudah disalahgunakan.

Modus operandi korupsi yang menjerat para kepala daerah pun sangat beragam, namun beberapa pola utama terus berulang. Berdasarkan berbagai laporan kasus, modus yang paling umum adalah:

  1. Suap dan Gratifikasi dalam Pengadaan Barang dan Jasa: Ini adalah “lahan basah” korupsi. Kepala daerah menerima suap atau “fee” dari para rekanan atau kontraktor untuk memenangkan tender proyek atau untuk memuluskan pembayaran. Nilai proyek yang besar seringkali menjadi daya tarik utama.
  2. Penyalahgunaan Anggaran Daerah (APBD): Ini mencakup pemotongan anggaran untuk kepentingan pribadi, mark-up harga barang atau jasa, atau pengalokasian anggaran fiktif. Kasus Bupati Sidoarjo yang memotong dana insentif pegawai BPPD adalah contoh nyata dari modus ini.
  3. Pemerasan dan Pungutan Liar (Pungli): Menggunakan kewenangan untuk memeras para pengusaha atau bahkan pegawai negeri sendiri. Pungli ini bisa berupa uang “damai” untuk menutupi pelanggaran perizinan atau uang pelicin untuk urusan birokrasi.
  4. “Uang Ketuk Palu”: Praktik menyuap anggota DPRD untuk mengesahkan Rancangan Perda (Raperda) APBD atau kebijakan lainnya. Kasus Gubernur Jambi, Zumi Zola, yang menyuap 53 anggota DPRD dengan total Rp16,34 miliar adalah contoh paling nyata dari modus ini [2].
  5. Korupsi Terkait Perizinan: Kepala daerah menerima suap dari pengusaha untuk menerbitkan izin-izin penting, seperti izin lingkungan atau izin usaha, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan. Kasus Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang merugikan negara Rp1,59 triliun dari perizinan tambang adalah contohnya [2].
  6. Korupsi untuk Pembiayaan Politik: Ini adalah salah satu akar masalah yang paling dalam. Banyak kepala daerah yang terjerat korupsi karena terlilit utang politik dari kampanye Pilkada. Mereka kemudian menggunakan jabatannya untuk mencari uang guna melunasi utang tersebut atau untuk mengumpulkan dana guna maju kembali di periode berikutnya. Kasus Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang diduga menggalang dana dari para kepala dinas untuk kampanyenya adalah bukti betapa korupsi dan politik telah saling terkait erat [4].

Angka-angka yang menggambarkan ratusan kepala daerah yang terjerat korupsi bukanlah sekadar data statistik yang dingin. Di balik setiap angka terdapat cerita tentang penyalahgunaan kepercayaan, pengkhianatan terhadap sumpah jabatan, dan terhambatnya pembangunan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat.

Korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah memiliki dampak yang sangat merusak dan multidimensi, jauh melampaui kerugian finansial negara. Dampak yang paling langsung terlihat pada pelayanan publik dan kualitas pembangunan. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk membangun infrastruktur yang layak, seperti jalan, jembatan, sekolah, dan puskesmas, diselewengkan untuk memperkaya diri sendiri dan kroni politik.

Akibatnya, pembangunan menjadi tidak berkualitas, mangkrak di tengah jalan, atau bahkan tidak pernah terealisasi. Otonom daerah yang bertujuan ideal mempercepat gerak pemerintah dalam mengatasi segala permasalahan di daerah jadi mubazir.

Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadi korban utama dari praktik ini. Mereka dirampas haknya untuk menikmati fasilitas publik yang baik, sementara para koruptor hidup bergelimang harta. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, serta menghambat upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Selain dampak fisik dan material, korupsi kepala daerah juga mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan demokrasi. Ketika pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara terbuka-terangan menyalahgunakan kekuasaan, rakyat akan menjadi apatis dan sinis terhadap proses demokrasi itu sendiri. Mereka mungkin berpikir bahwa tidak ada bedanya antara satu calon dengan calon lainnya, karena pada akhirnya mereka semua akan korup juga.

Situasi ini berpotensi menurunkan partisipasi politik masyarakat dan melemahkan legitimasi pemerintah. Lebih jauh lagi, fenomena di mana para mantan terpidana korupsi bahkan masih bisa mencalonkan diri kembali dalam Pilkada, seperti yang dicatat oleh ICW, adalah sebuah ironi yang sangat menyakitkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, pertimbangan popularitas, uang, dan jaringan politik seringkali mengalahkan integritas dan track record yang bersih. Ini adalah sebuah siklus yang sangat berbahaya, di mana korupsi tidak lagi dipandang sebagai aib, tetapi sebagai sesuatu yang lumrah dan dapat ditoleransi dalam permainan politik.

Untuk memahami mengapa korupsi di kalangan kepala daerah begitu sulit diberantas, kita perlu melihat akar masalahnya. Salah satu akar masalah utama, seperti yang sering diungkap oleh para analis, adalah tingginya biaya politik dalam kontestasi Pilkada.

Sebuah kajian dari Litbang Kemendagri pada 2015 menyebutkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur bisa mencapai Rp20  miliar–Rp100 miliar. Angka ini sangat jauh di atas pendapatan resmi seorang kepala daerah selama satu periode jabatan.

 Untuk menutupi biaya kampanye yang sangat besar ini, calon kepala daerah seringkali mencari dana dari para pengusaha yang tentu saja mengharapkan imbalan di kemudian hari jika calon tersebut terpilih. Praktik “mahar politik” dan “jual beli suara” menjadi lumrah. Setelah terpilih, kepala daerah tersebut akan merasa terikat untuk “mengembalikan” modal para donornya, biasanya dengan cara memberikan proyek-proyek menguntungkan, kemudahan perizinan, atau kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka.

Akar masalah lainnya adalah lemahnya sistem pengawasan, baik yang bersifat internal (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/APIP) maupun eksternal (DPRD, masyarakat). Selain itu, tata kelola partai politik yang buruk juga menjadi pemicu utama. Partai politik seringkali gagal menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik, sehingga calon-calon yang diusulkan lebih didasarkan pada kemampuan finansial mereka daripada kapasitas dan integritas.

Akhirnya, rendahnya hukuman dan tidak adanya efek jera yang maksimal juga turut andil. Banyak pelaku korupsi yang hanya mendapatkan hukuman ringan atau bahkan kembali bermain di kancah politik setelah usai menjalani hukumannya.

Butuh Aksi Pencegahan Sistemik

Melihat dari dekat data dan tren korupsi yang melibatkan kepala daerah sejak berdirinya KPK, kita disuguhkan pada sebuah potret yang sangat memprihatinkan. Meskipun terdapat perbedaan angka antarsumber, kesimpulan umumnya tidak bisa dihindari: korupsi di kalangan kepala daerah adalah sebuah masalah endemik yang telah mengakar kuat dalam sistem pemerintahan dan politik di Indonesia.

Ratusan gubernur, bupati, dan wali kota yang telah dijerat oleh KPK hanyalah puncak dari gunung es, yang menunjukkan betapa luasnya praktik penyelewengan ini terjadi di seluruh penjuru negeri. Angka-angka ini bukan sekadar pencapaian statistik bagi lembaga anti-rasuah, melainkan sebuah indikator kritis yang menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam mencegah perilaku koruptif di kalangan pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat daerah.

Setiap penangkapan dan penetapan tersangka, meskipun menunjukkan kerja keras KPK, pada saat yang sama juga mengonfirmasi bahwa sistem kita masih sangat rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar, tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah ia telah menciptakan sebuah budaya di mana korupsi dianggap sebagai cara yang lumrah untuk mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.

Jika kita melihat kembali ke sejarah, seperti yang diulas dalam naskah sebelumnya, terdapat paralelisme yang mencengangkan antara korupsi di era kolonial dan di era modern. Para bupati di masa Tanam Paksa yang berperilaku seperti “raja kecil” dan mengeksploitasi rakyat untuk keuntungan pribadi, tampaknya telah menemukan reinkarnasinya dalam para kepala daerah kontemporer. Meskipun konteksnya telah berubah—dari feodalisme menjadi demokrasi—esensi perilakunya tetap sama: penyalahgunaan kekuasaan untuk ekstraksi sumber daya.

Dulu, sumber daya itu adalah hasil bumi dan tenaga kerja rakyat yang dikirim ke Belanda. Kini, sumber daya itu adalah anggaran pembangunan dan dana perimbangan yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, namun diselewengkan untuk memperkaya diri sendiri, membayar utang politik, dan membiayai gaya hidup mewah. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari warisan kolonial yang berupa budaya korup yang melembaga. Kita telah mengganti bentuk negara, tetapi belum sepenuhnya berhasil mengubah mentalitas dan budaya birokrasi yang inheren koruptif.

Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti pada penindakan semata. KPK telah bekerja keras di lini depan untuk menangkap para pelaku, tetapi selama akar-akar masalahnya tidak ditangani, korupsi akan terus tumbuh kembali seperti rumput liar yang dipotong. Solusi yang dibutuhkan adalah aksi yang sistemik dan holistik.

Pertama, reformasi tata kelola partai politik adalah mutlak diperlukan. Partai harus menjadi agen perekrutan calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, bukan sekadar mesin pengumpul dana. Sistem pendanaan partai dan kampanye harus transparan dan akuntabel untuk memutus mata rantai utang politik yang menjadi pemicu utama korupsi.

Kedua, penguatan sistem pengawasan harus diwujudkan, baik itu melalui pemberdayaan APIP yang independen, maupun dengan mendorong keterbukaan informasi publik yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi penggunaan anggaran daerah.

Ketiga, pembaruan hukum pidana dan peradilan yang memberikan sanksi yang tegas dan berkeadilan, serta memiliki efek jera yang maksimal, sangat krusial. Para koruptor harus merasakan dampak hukuman yang seberat-beratnya, termasuk pencabutan hak politik untuk mencegah mereka kembali bermain di panggung politik. Tanpa langkah-langkah fundamental ini, angka-angka yang kita lihat hari ini akan terus bertambah, dan kita akan terus terjebak dalam siklus korupsi yang tidak berkesudahan, meninggalkan bayang-bayang kelam atas masa depan bangsa..

Baca Juga:

About the author
B@s