Perjanjian Giyanti & Perjanjian Jatisari: Dampak terhadap Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Warisan hingga Masa Kini

November 7, 2025

Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 merupakan titik balik politik di Jawa — menandai perpecahan Kerajaan Mataram menjadi dua entitas politis besar: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta).

Dua hari kemudian setelah Perjanjian Giyanti diteken pula Perjanjian Jatisari, mengatur aspek-aspek tata kelola budaya, protokol istana, dan pembagian otoritas simbolik yang lebih rinci. Dampak-dampak perjanjian ini tak hanya bersifat politis pada zamannya; mereka melahirkan institusi, praktik kebudayaan, dan relasi pusat–pusat kekuasaan yang jejaknya masih kuat hingga abad ke-21.

Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyepakati pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah berdaulat: satu dipimpin Pakubuwana III (Surakarta) dan satu lagi dipimpin Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengku Buwono I (Yogyakarta). Pada dasarnya Perjanjian Giyanti menuntaskan konflik internal yang melibatkan beberapa tokoh utama Mataram (Pakubuwana, Mangkubumi, Raden Mas Said) setelah berkepanjangan terjadi perang saudara dan perebutan legitimasi pascakrisis suksesi kepemimpinan.

Perjanjian Jatisari (sering dicatat bertanggal 15 Februari 1755) merupakan kesepakatan lanjutan yang menguraikan lebih terperinci pembagian protokol istana, hak-hak simbolik, dan beberapa pembagian aset budaya. Jatisari membantu memperjelas mana tradisi Mataram yang akan dipertahankan secara kolektif dan mana yang menjadi ciri khas masing-masing keraton.

Kedua perjanjian tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). VOC berperan sebagai mediator sekaligus pihak yang memperoleh keuntungan politik dan ekonomi — pengaruhnya terhadap penunjukan pejabat lokal dan hak atas monopoli tertentu pada akhirnya memperbesar kontrol kolonial di wilayah Jawa.


Dampak langsung pada Kasunanan Surakarta

  1. Pengurangan wilayah dan otoritas politik: Surakarta yang sebelumnya mengklaim kelanjutan Mataram pusat kehilangan banyak wilayah administratif. Akibatnya kekuasaan Sunan—secara de facto—menjadi terfragmentasi dan harus bersaing dengan entitas-entitas baru (termasuk Mangkunegaran, yang muncul beberapa tahun setelah Giyanti).
  2. Legitimasi yang terkikis: Sementara masih punya legitimasi tradisional, posisi politik Sunan Surakarta mengalami erosi terhadap kekuatan-kekuatan lokal dan pengaruh VOC. Otonomi keputusan politik yang semula relatif luas kini harus dibuat dalam konteks kontrol dan konsultasi dengan aktor kolonial.
  3. Penyesuaian budaya sebagai strategi bertahan: Dengan melemahnya otoritas politik, Surakarta menguatkan perannya sebagai pusat budaya dan tradisi Mataram—mengembangkan estetika, tarian, gamelan, dan upacara istana yang menekankan kontinuitas historis. Ini menjadi alat legitimasi alternatif yang tak membutuhkan kekuasaan administratif besar.
  4. Ekonomi istana dan ketergantungan fiskal: Pembagian wilayah dan hak-hak fiskal membuat kas istana Surakarta lebih terbatas. Tekanan fiskal ini kemudian memengaruhi kebijakan agraria dan relasi dengan komunitas tani di wilayah kekuasaannya.

Dampak langsung pada Kasultanan Yogyakarta

  1. Konsolidasi otoritas Hamengku Buwono: Untuk pihak Mangkubumi, perjanjian Giyanti mengukuhkan gelar dan garis keturunan sebagai Sultan Hamengku Buwono I, memberi legitimasi yang kemudian diwariskan turun-temurun.
  2. Pertahankan tradisi Mataram: Yogyakarta cenderung menegaskan dirinya sebagai penerus tradisi Mataram—menjaga sejumlah ritual, repertoar musik, dan simbol-simbol dinasti yang kuat. Kekayaan simbolik ini menjadi basis legitimasi sosial-politiknya.
  3. Peran simbolik & politik regional: Meskipun tetap berada dalam orbit pengaruh VOC, Yogyakarta tetap mempertahankan peran simbolik besar—sebagai pusat budaya, ritual, dan pengadilan istana yang menarik loyalitas lokal.
  4. Dasar pembentukan status istimewa modern: Legitimasi tradisional dan kontribusi politik Yogyakarta pada masa kemerdekaan kemudian menjadi salah satu faktor yang melandasi pengakuan status khusus Daerah Istimewa Yogyakarta dalam struktur Republik Indonesia.

Efek jangka menengah (abad ke-18 dan 19): politik, sosial, dan ekonomi

  • Fragmentasi politik Jawa: Giyanti mempercepat terfragmentasinya politik Jawa—munculnya pusat-pusat kecil berdaulat (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran) membuat koordinasi politik pusat melemah. Kondisi ini mempermudah VOC untuk menerapkan kebijakan ekonomis dan administratif yang menguntungkannya.
  • Perubahan struktur agraria: Dengan VOC sebagai pemain utama dalam pengaturan ekonomi, struktur kepemilikan lahan dan sistem pemungutan pajak berubah — memengaruhi kesejahteraan rakyat tani dan memicu ketegangan sosial. Perubahan ini adalah salah satu latar belakang konflik agraria dan pemberontakan lokal berikutnya.
  • Kelahiran identitas budaya terpisah: Di bidang budaya, perjanjian-perjanjian tersebut mendorong diferensiasi protokol istana, gaya gamelan, repertoar tari, dan pakaian upacara—yang lambat laun dikonstruksi sebagai identitas khas Surakarta vs. Yogyakarta.

Warisan jangka panjang hingga masa kini

1. Politik-institusional

Jejak institutinal Giyanti masih ada: peta politik tradisional Jawa—dengan dua keraton besar ikut memengaruhi tata lokal—berkembang menjadi realitas yang dipertimbangkan oleh pemerintahan modern. Contoh paling nyata adalah pengakuan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memberikan hak istimewa pada Sultan Yogyakarta dalam struktur pemerintahan provinsi, suatu pengakuan yang memadukan legitimasi tradisi dan peran modern politik.

Surakarta, meskipun tidak mendapat status administratif setara DIY, tetap menjadi pusat budaya yang berpengaruh; hubungan antara keraton dan negara modern terus dinegosiasikan, misalnya dalam hal pengelolaan aset budaya dan situs bersejarah.

2. Budaya & identitas

Perbedaan protokol dan estetika istana yang dipicu oleh Jatisari menjadi aspek penting bagi kebudayaan Jawa kontemporer. Di Yogyakarta misalnya, upacara tertentu, penampilan gamelan, dan pakaian kebesaran sultan menegaskan klaim kontinuitas Mataram. Di Surakarta, gaya estetika yang sedikit berbeda muncul sebagai respons sejarah—membentuk dua tradisi keraton yang saling terkait tetapi berbeda.

3. Pariwisata & pelestarian

Kedua keraton kini termasuk destinasi budaya utama: museum, pagelaran seni, koleksi gamelan, dan pameran artefak menjadi sumber pemasukan sekaligus medium pelestarian. Pengelolaan warisan ini sering melibatkan kolaborasi dengan pemerintah daerah, kementerian pariwisata, dan organisasi pelestarian sejarah.

4. Pendidikan sejarah dan narasi publik

Bagaimana Giyanti diajarkan di sekolah dan diliput di media memengaruhi pandangan masyarakat tentang era kolonial, legitimasi kerajaan, dan narasi nasional. Ada perdebatan historiografis: apakah Giyanti harus dilihat sebagai hasil pragmatisme politis lokal atau pengkhianatan terhadap kesatuan Mataram? Perbedaan interpretasi ini berpengaruh pada kebijakan pelestarian dan turisme budaya.


Kasus konkret: Dari konflik agraria sampai peran di kemerdekaan

Dampak struktur agraria yang berubah pasca-Giyanti menjadi salah satu penyebab ketidakpuasan yang melahirkan pemberontakan-pemberontakan besar — yang paling terkenal adalah Perang Diponegoro (1825–1830) yang meskipun lebih kompleks konteksnya, memiliki relasi dengan ketidakadilan agraria dan intervensi kolonial.

Pada abad ke-20, khususnya masa kemerdekaan Indonesia, Sultan Yogyakarta (Sultan Hamengku Buwono IX pada masa itu) memainkan peranan penting dalam mendukung Republik, yang kemudian menjadi salah satu faktor kuat mengapa Yogyakarta diberi status istimewa dalam konstitusi Indonesia pascaproklamasi.


Perbedaan budaya Yogyakarta & Surakarta yang masih terlihat hari ini

  • Gaya gamelan: Perbedaan repertoar dan cara pertunjukan—tidak selalu mudah bagi non-spesialis, tetapi pakar musik Jawa dapat membedakan nuansa tekstur, tempo, dan ornamentasi.
  • Busana upacara: Variasi motif, potongan, dan penggunaan simbol-simbol dinasti berbeda antara kedua keraton.
  • Protokol istana: Susunan acara, penempatan pejabat, dan ritual tertentu (mis. urutan sesajen) sering berbeda dan menjadi identitas institusional masing-masing keraton.

Kontroversi interpretatif dan historiografi

Sejarawan modern masih memperdebatkan interpretasi Giyanti: apakah ia merupakan strategi bertahan yang rasional oleh elite Jawa di tengah tekanan eksternal, ataukah pengkhianatan terhadap kesatuan Mataram yang membuka pintu dominasi kolonial? Kedua pandangan ini sama-sama punya bukti — dari arsip VOC, surat-surat istana, hingga catatan lisan lokal.

Memahami Giyanti dengan seimbang berarti menempatkannya dalam konteks perang saudara internal, manuver politik lokal, dan perhitungan VOC — bukan hanya sebagai satu peristiwa tunggal, melainkan rangkaian negoisasi kekuasaan yang berkelanjutan.

Baca Juga:

About the author
B@s