Dari Tidore hingga Bima: Perjuangan Sultan Zainal Abidin Syah dan Sultan Muhammad Salahudin yang Jadi Pahlawan Nasional

November 11, 2025

Ketika membicarakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pikiran kita sering terarah pada tokoh-tokoh besar dari Jawa atau Sumatra. Namun, kisah perjuangan bangsa ini jauh lebih luas, menjangkau pulau-pulau timur Nusantara yang kaya sejarah. Penetapan Sultan Zainal Abidin Syah dari Tidore dan Sultan Muhammad Salahudin dari Bima sebagai Pahlawan Nasional membuka kembali halaman penting dari sejarah tersebut—sejarah yang sarat keberanian, kecerdasan politik, dan pengabdian tulus untuk rakyat.

Sultan Zainal Abidin Syah: Sang Penjaga Kedaulatan Tidore dan Tanah Air

Sultan Zainal Abidin Syah adalah Sultan Tidore terakhir sebelum wilayahnya terintegrasi ke dalam Republik Indonesia. Pada masa penuh tekanan kolonial dan perubahan geopolitik, ia memilih berpihak pada cita-cita kemerdekaan. Alih-alih mempertahankan kekuasaan feodal demi status pribadi, ia menempatkan martabat rakyat sebagai prioritas.

Hal ini tak lepas dari pengaruh pendidikan formal modern yang ditempuhnya. Zainal Abidin Syah menempuh pendidikan formal yang mapan, sebuah langkah yang tidak umum pada masanya bagi banyak pemimpin tradisional. Ia menyelesaikan pendidikan di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Ternate pada tahun 1924, kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1928.

Lebih jauh dia menuntut ilmu di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar pada tahun 1934 [0]. Pendidikan di OSVIA adalah persiapan untuk menjadi birokrat pribumi dalam sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Namun bukannya kemudian larut dalam kenikmatan sebagai pejabat pemerintah kolonial, Zainal Abidin Syah justru memanfaatkan pendidikan ini sebagai landasan intelektual dan pemahaman administratif yang kuat untuk kepentingan negerinya. Ini kelak akan sangat berguna dalam perjuangan diplomatisnya untuk integrasi Irian Barat.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam suasana revolusi fisik yang melanda negeri, ia memilih untuk berpihak pada Republik yang baru lahir. Pada Februari 1947, ia secara resmi diangkat sebagai Sultan Tidore ke-37. Kepemimpinannya sebagai Sultan Tidore berlangsung selama dua dekade, dari 1947 hingga ia wafat pada tahun 1967.

Saat itu adalah periode yang sangat menentukan bagi nasib bangsa Indonesia, terutama dalam mempertahankan dan mengamankan kemerdekaan dari berbagai ancaman, termasuk upaya Belanda untuk kembali menguasai wilayah-wilayah di Indonesia bagian timur .

Sebagai seorang Sultan yang telah menempuh pendidikan modern dan memiliki pengalaman birokrasi di bawah pemerintahan kolonial, ia berada di posisi yang unik. Ia mampu menjembatani antara struktur kekuasaan tradisional Kesultanan Tidore dengan tuntutan zaman modern dari sebuah negara-bangsa yang sedang dibentuk. Ia memahami pentingnya legitimasi historis Tidore atas Papua, tetapi juga menyadari bahwa perjuangan di era baru ini memerlukan pendekatan politik dan diplomasi yang canggih.

Kombinasi dari latar belakang bangsawan, pendidikan formal, pengalaman birokrasi, dan jiwa nasionalis yang membara inilah yang membentuk sosok Zainal Abidin Syah sebagai seorang pemimpin yang siap menghadapi tantangan besar dalam misi pemulihan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat. Ia bukan hanya seorang penguasa tradisional, tetapi juga seorang negarawan visioner yang melihat perlunya integrasi total dalam bingkai NKRI.

Ia menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai tokoh dan kekuatan lokal di wilayah Maluku hingga Papua, menegaskan bahwa Tidore bukan hanya pusat kekuasaan tradisional, tetapi juga bagian penting dari proyek kebangsaan Indonesia. Keputusannya mendukung Republik menunjukkan keberanian moral: ia memilih masa depan bersama Indonesia ketimbang ketundukan pada kolonial.

Sultan Muhammad Salahudin: Pelopor Pendidikan dan Pembaruan di Bima

Sementara itu, di wilayah Nusa Tenggara, Sultan Muhammad Salahudin, Sultan Bima, dikenal sebagai pemimpin yang visioner. Ia memahami bahwa kemandirian rakyat dimulai dari penguasaan ilmu pengetahuan. Maka, ia mendirikan sekolah rakyat, memperluas akses pendidikan, serta mendukung penerjemahan naskah ilmu ke bahasa Bima.

Pada masa kolonial, ketika pendidikan hanya milik kaum bangsawan, Sultan Muhammad Salahudin membuka sekolah umum dan agama dengan biaya pribadi. Ia memberi beasiswa kepada anak-anak miskin agar bisa belajar. Gagasannya melampaui zamannya, menegaskan bahwa pendidikan adalah kunci kemerdekaan sejati. Kesultanan Bima pun tumbuh menjadi salah satu daerah dengan tingkat literasi tertinggi di Indonesia bagian timur pada masa itu.

Dalam pendidikan Islam, Sultan juga melakukan pembaruan. Ia memperluas akses pengajaran kitab agar bisa dipelajari oleh masyarakat umum, bukan hanya kalangan istana. Baginya, ilmu dan iman harus berjalan beriringan. Ia ingin rakyat Bima tidak hanya taat beragama, tetapi juga cerdas dan mandiri.

Selain itu, Sultan Muhammad Salahudin dikenal sebagai pemimpin yang terbuka terhadap perubahan. Ia mendukung organisasi pergerakan, membangun hubungan dengan tokoh nasional, dan memelihara dialog lintas kalangan.

Setelah proklamasi, ketika Belanda melalui NICA mencoba kembali menancapkan kekuasaan, Sultan dengan tegas menolak kehadiran mereka di Bima. Keberaniannya itu mendapat perhatian nasional. Presiden Soekarno bahkan datang langsung ke Bima untuk menyampaikan rasa terima kasih atas keteguhan sang Sultan dalam membela republik.

Dari pertemuan itu, tergambar sosok pemimpin daerah yang tak hanya setia, tetapi juga memahami makna strategis kemerdekaan bahwa Indonesia harus berdiri di atas kedaulatan penuh rakyatnya.

Dalam masa penjajahan, langkah-langkah seperti ini bukan hanya tindakan administratif—melainkan bentuk perlawanan kultural. Ia sedang membangun pondasi kesadaran kebangsaan melalui pendidikan.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Sultan Muhammad Salahudin tidak ragu menyatakan dukungan. Ia bahkan merelakan sebagian struktur kekuasaan Kesultanan Bima untuk menyatu dengan negara baru bernama Republik Indonesia.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Zainal Abidin Syah dan Sultan Muhammad Salahudin membawa makna yang sangat dalam:

  1. Menghapuskan Sentralitas Perjuangan: Ini adalah pengakuan resmi bahwa perjuangan melawan penjajahan dan membangun bangsa tidak hanya terjadi di Jawa atau Sumatera. Nusa Tenggara dan Maluku, dengan para sultannya, juga memiliki andil yang sama besar dalam menorehkan sejarah Indonesia.
  2. Mencerahkan Makna Kepahlawanan: Kepahlawanan tidak selalu identik dengan perang dan pertumpahan darah. Perjuangan Sultan Muhammad Salahudin melalui pembangunan ekonomi dan sosial adalah bentuk kepahlawanan yang relevan hingga kini. Seorang pemimpin yang memajukan rakyatnya adalah seorang pahlawan.
  3. Menyatukan Kembali Nusantara: Mengangkat pahlawan dari berbagai daerah adalah cara terbaik untuk merajut kembali benang-benang kebangsaan yang mungkin telah terkoyak oleh waktu. Ini mengingatkan kita bahwa kita adalah satu, dari Sabang hingga Merauke, dibentuk oleh semangat juang yang sama.
Dengan disahkannya kedua sultan ini sebagai Pahlawan Nasional, kita diajak untuk lebih dalam lagi menggali khazanah sejarah lokal. Mungkin di daerahmu juga ada sosok-sosok berjasa yang belum terungkap. Mari kita gali, kita ceritakan, dan kita teladani semangatnya.

Kepahlawanan bukanlah gelar yang dicari, melainkan jejak yang ditinggalkan oleh dedikasi, keberanian, dan cinta yang tulus kepada tanah air.

Baca Juga:

Ada Sentuhan “Asing” dalam Aransemen Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

R.M.P. Bonokamsi Wignjosoeworo: Pengembang Genre Karawitan Surakarta

About the author
B@s