Salah satu ritual Keraton Solo atau Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah Mahesa Lawung. Ritual ini bahkan sudah ada di kerajaan-kerajaan di era sebelum berdirinya kerajaan Mataram Islam. Apakah ritual Mahesa Lawung itu? Bagaimana sejarah dan tujuannya?
Tradisi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung merupakan tradisi tahunan yang dilaksanakan oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat setiap pungkasan bulan Rabiul Akhir yang jatuh pada hari Senin atau Kamis.
Ferri Imam Guretno dan Margono dalam Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial, 4(10), 2024 melalui tulisan berjudul Nilai-Nilai Kearifan Lokal Yang Terkandung dalam Tradisi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dimuat di journal3.um.ac.id menjelaskan “Mahesa” berarti kerbau sedangkan kata “Lawung” berarti tombak. Hal ini merujuk pada kondisi di masa lalu ketika kerbau yang dikorbankan sebagai sesaji dimatikan dengan cara ditombak. Sementara istilah Wilujengan Nagari bisa diartikan sebagai selamatan atau proses persembahan doa untuk keselamatan negara.
Prosesi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung digelar di dua tempat, yakni di Bangsal Sewayana Karaton Surakarta Hadiningrat dan Alas (hutan) Krendhawahana yang berlokasi di Desa Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Alas Krendhawahana adalah salah satu tempat keramat dalam sejarah Kasunanan karena dianggap sebagai kediaman Bathara Kalayuwati, sosok penjaga Kasunanan di wilayah utara.
Tradisi yang Melegenda
Ritual Mahesa Lawung berdasarkan telusur sejarah sudah dikenal dalam legenda-legenda kerajaan Jawa. Misalkan saja seperti tersebut dalam zaman Prabu Ajipamasa, penguasa Kerajaan Kediri-Pengging yang dikisahkan pujangga Kasunanan Surakarta Hadiningrat, R.Ng. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yang digubah pada pertengahan 1800-an.
Guretno dan Margono menuliskan ritual ini dilakukan disebabkan situasi genting di wilayah Kerajaan Pengging akibat serangan kaum raksasa atau denawa. Prabu Ajipamasa kemudian disarankan untuk menghadap Bhatari Kalayuwati di Alas Krendhawahana memohon petunjuk.
Petunjuk yang datang kemudian menyebut perlu ada persembahan berupa kerbau hutan atau kerbau liar (mahesa wana umbaran) dengan kriteria tertentu. Prabu Ajipamasa lalu mengutus “kabinet”-nya untuk mempersiapkan ritual persembahan Mahesa Lawung di Alas Krendhawahana.
Dan memang kemudian dalam kisahnya adanya ritual ini yang dilakukan secara rutin bisa mengembalikan ketenteraman di tengah masyarakat dan Kerajaan Pengging.
Akulturasi Budaya Leluhur dan Islam
Seiring meluruhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan berganti dengan kerajaan Islam, tradisi persembahan seperti Mahesa Lawung terhenti karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini terjadi di masa Kesultanan Demak di bawah Sultan Syah Alam Akbar I atau Raden Patah.
Namun, seperti ditulis Guretno dan Margono, Kesultanan Demak kemudian juga mengalami masa krisis. Wabah penyakit bermunculan, sementara kriminalitas juga meningkat. Kondisi ini membuat proses dakwah Islam juga terpengaruh.
Akhirnya Sultan Demak menggelar pertemuan dengan para pejabat kesultanan dan tokoh masyarakat serta agama untuk mencari solusi. Salah satu pendapat yang mengemuka adalah agar semua bertirakat memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Konon kemudian Sunan Kalijaga mendapatkan ilham bahwa agar Kesultanan Demak bisa terbebas dari segala musibah dan wabah, tradisi yang pernah dilakukan oleh para leluhur dari era Kerajaan Majapahit yaitu wilujengan nagari Mahesa Lawung kembali digelar.
Sultan kembali menggelar sidang membahas ilham yang didapat Sunan Kalijaga, khususnya untuk merumuskan cara agar ritual itu diselaraskan dengan ajaran Islam. Akhirnya Mahesa Lawung kembali digelar dengan didukung panduan dari Sunan Bonang dan Sunan Giri bersama orang-orang yang pernah mengetahui tradisi itu di masa lalu.
Mahesa Lawung kemudian digelar di Gunung Muria dan Alas Roban yang diyakini sebagai tempat yang angker (wingit). Doa-doa yang dipanjatkan dalam ritual Mahesa Lawung itu memadukan cara Islam, Kejawen, dan Hindu-Buddha. Ternyata setelah ritual ini digelar Kesultanan Demak kembali pulih dari aneka krisis.
Al-Amri dan Haramain (2017) yang dikutip Guretno dan Margono menjelaskan proses akulturasi atau perpaduan antara syariat Islam dengan budaya leluhu ini terjadi karena adanya proses interaksi yang menimbulkan perpaduan antara prinsip agama dengan elemen budaya lokal.
Keberlanjutan Mahesa Lawung di Era Kerajaan Mataram Islam
Di era Kerajaan Mataram Islam, tradisi Mahesa Lawung masih dipertahankan. Ritual itu kali pertama dilakukan menyusul kepindahan Keraton dari Kartasura ke wilayah Desa Sala pada masa Sinuhun Paku Buwono II.
Tepat pada Kamis tanggal 26 bulan Rabiul Akhir selepas 100 hari pindahnya Keraton, Wilujengan Nagari Mahesa Lawung pun digelar di Alas Krendhawahana, dan kemudian menjadi tradisi rutin setiap bulan Rabiul Akhir yang jatuh pada hari Senin atau Kamis di akhir bulan.
Namun tradisi ini kembali terhenti di masa Perang Diponegoro, setelah Belanda mengetahui bahwa Alas Krendhawahana ternyata juga dijadikan tempat pertemuan rahasia Sinuhun Paku Buwono VI dengan Pangeran Diponegoro untuk membahas strategi melawan Belanda. Pada akhirnya tradisi ini tetap digelar, namun dipindahkan ke Sungai Cemara di Dusun Gemolong. Tradisi ini baru sepenuhnya kembali digelar di Alas Kredhawahana di era Sinuhun Paku Buwono IX pada 1870-an.
Detail Persiapan dan Pelaksanaan Mahesa Lawung
Sebagaimana lazimnya upacara selamatan, selalu ada hidangan khusus yang menjadi persembahan atau pengiring penyampaian doa. Hidangan ini dipersiapkan seluruhnya di Gondorasan, dapur Keraton Surakarta Hadiningrat yang hanya dipakai untuk menyiapkan hidangan-hidangan untuk berbagai keperluan upacara di Keraton.
Bahan hidangan sesaji ini mencakup:
- Kerbau (mahesa)
- Ayam (ingkung)
- Bebek (pitik kambangan)
- Ikan tombro
- Ikan lele sajodo (sepasang)
- Bunga matahari (sekar burba)
- Arak (ciu)
- Daging kerbau diolah dengan cara dipanggang, hati kerbau dimasak semur, dan ikan tombro dimasak sambal goreng.
Sementara sesaji utama adalah kepala kerbau (sirah mahesa). Kepala kerbau yang menjadi material persembahan ini adalah lambang tersingkirnya kebodohan atau segala hal yang tidak baik. Ini karena meski secara fungsional kerbau adalah hewan yang berguna, namun secara citra kerbau yang perilakunya terlihat lamban itu dianggap seperti makhluk yang bodoh.
Seluruh hidangan dan komponen sesaji lantas dibawa dari Gondorasan ke Bangsal Sewayana yang berada di area Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Siti Hinggil (atau “tanah yang tinggi/ditinggikan), adalah tempat raja duduk di atas takhta dalam upacara berskala besar di keraton.
Seluruh hidang dan komponen sesaji ini kemudian didoakan dengan dipandu oleh abdi dalem Suranata atau pegawai Keraton yang menjalankan tugas dalam bidang keagamaan. Seperti halnya yang terjadi di masa Kesultanan Demak, doa-doa yang dibacakan pun merupakan wujud akulturasi antara Islam dengan budaya leluhur.
Setelah proses doa bersama di Bangsal Sewayana selesai, selanjutnya seluruh hidangan dan komponen sesaji dibawa ke Alas Krendhawahana untuk proses lanjutan Wilujengan Nagari Mahesa Lawung. Sesaji ditata di punden atau semacam altar tempat berdoa yang berada tepat di bawah pohon beringin. Kemudian doa-doa pun kembali dilantunkan.
Seusai pembacaan doa, ritual berpuncak pada penguburan kepala kerbau di lokasi tak jauh dari punden. Penguburan kepala kerbau ini sebagai simbol pembasmian sifat-sifat buruk manusia. Kemudian hidangan sesaji dibagikan kepada para peserta upacara.