Peringatan Hari Santri pada 22 Oktober bukan seremoni biasa. Peringatan ini menjadi momentum merayakan sukses akulturasi pendidikan di Nusantara.
Ahmad Nawawi, Syahroni, dan Destika Cahyana, yang merupakan pengurus DPP GEMA Mathla’ul Anwar, dalam tulisan yang dimuat di Antara pada Rabu (22/10/2025), mengutip sejumlah ahli seperti Nurcholis Madjid yang menyebut istilah “santri” berasal dari kata sastri dalam bahasa Sanskerta, yang berarti “orang yang melek huruf” atau “cendekia”. Ada pula yang mengaitkannya dengan kata cantrik, yaitu murid yang tinggal dan belajar kepada seorang empu di padepokan.
Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren sebenarnya merupakan kelanjutan dan transformasi dari sistem pendidikan tradisional yang telah lama hidup di bumi Nusantara. Para ulama dan kyai pendiri pesantren tidak menghapus warisan budaya lama, melainkan mengislamkan dan memodifikasi bentuknya agar sejalan dengan nilai-nilai tauhid, dapat kita sebut pesantren merupakan post tradisional pendidikan yang unik.
Maka tidak heran jika istilah “santri” tetap dipertahankan. Dalam konteks perkembangan zaman, pesantren masih sangat relevan dalam membangun sistem pendidikan bangsa. Hal ini ditandai dengan kombinasi kurikulum pendidikan nasional dengan kurikulum pesantren dalam sistem pengajaran, justru makin komprehensif.
Begitu pula dalam hal bahasa dan istilah keagamaan, masyarakat Nusantara menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengadaptasi ajaran Islam dengan budaya setempat. Dalam masyarakat Jawa dan Sunda, misalnya, Allah SWT sering disebut dengan sebutan Gusti, Pangeran, atau Gusti Pangeran. Walaupun secara harfiah istilah itu merujuk pada raja atau bangsawan, namun dalam konteks religius istilah tersebut dimaknai sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penggunaan bahasa lokal ini menjadi bukti betapa dalamnya kemampuan masyarakat Nusantara mengontekstualisasikan ajaran Islam tanpa kehilangan makna tauhid yang mendasarinya. Demikian pula, sosok ulama atau tokoh agama di Indonesia disebut kyai. Dalam budaya Jawa, kata kyai juga digunakan untuk menyebut benda-benda yang dianggap memiliki nilai luhur atau sakral seperti Kyai Naga Siluman (keris pusaka), Kanjeng Kyai Guntur Madu (gamelan keraton), atau bahkan kerbau bule Kyai Slamet di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Penggunaan istilah yang sama untuk menyebut tokoh agama menunjukkan adanya kesinambungan nilai penghormatan terhadap yang dianggap suci, luhur, dan berwibawa. Umat beragama pun belajar memahami kata tidak sekadar teks, tetapi juga konteks sebuah kata digunakan pada ruang dan waktu tertentu.
Hal ini tentu sejalan dengan pepatah arab yang berbunyi likulli maqalin maqamun wa likulli maqamin maqalun. Maknanya kurang lebih setiap perkataan memiliki tempat dan setiap tempat memiliki perkataan.
Akulturasi Pendidikan dan Kearifan Lokal
Peringatan Hari Santri, dengan demikian, dapat dimaknai bukan sekadar penghormatan kepada para pejuang Islam yang ikut mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap kearifan lokal yang menjadi fondasi kebudayaan bangsa.
Santri adalah simbol keterbukaan Islam terhadap budaya Nusantara, simbol kemampuan umat Islam untuk berdialog dengan tradisi tanpa kehilangan identitasnya. Para santri juga melahirkan organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia yang terus eksis, bahkan menjangkau hingga dunia internasional.
Para santri itu di antaranya K.H. Hasyim Ashari yang telah melahirkan Nahdlatul Ulama, K.H. Ahmad Dahlan yang melahirkan Muhammadiyah, K.H. Tubagus Mohammad Soleh, K.H. Entol Muhammad Yasin, dan K.H. Mas Abdurrahman yang melahirkan Mathla’ul Anwar, Haji Zamzam dan Haji M Yunus yang melahirkan Persis, dan masih organisasi Islam lainnya.
Seiring perubahan dan kemajuan zaman, santri tidak lagi identik dengan kehidupan di pesantren semata. Santri kini hadir di berbagai bidang: sebagai akademisi, ilmuwan, pebisnis, birokrat, bahkan teknokrat. Mereka membawa nilai-nilai pesantren termasuk kejujuran, kerja keras, tawadhu, dan cinta tanah air, ke dalam berbagai lini kehidupan. Bahkan banyak santri yang juga menjadi tokoh di dunia pendidikan di luar negeri, semisal Prof. Nadirsyah Hosen, yang merupakan guru besar ilmu hukum di Universitas Melbourne, Australia, dan sebelumnya juga menjadi guru besar di perguruan tinggi terkemuka Australia lainnya.
Inilah generasi santri baru yang mampu menembus batas tradisi tanpa meninggalkan akar spiritualitasnya. Maka Hari Santri menjadi momen refleksi bagi bangsa Indonesia untuk menegaskan kembali bahwa perjuangan membela negara adalah ekspresi dari keimanan pribadi orang yang beriman sebagaimana ditegaskan K.H. Hasyim Asy’ari delapan dekade silam tatkala memprakarsai dan menyerukan Resolusi Jihad.