Peristiwa 17 Oktober 1952, Ketika TNI Menggertak Bung Karno

October 17, 2025

Tanggal 17 Oktober 1952 menjadi sebuah tanggal penting dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Di usia republik yang masih muda, sebuah ketegangan politik yang dramatis terjadi di pusat kekuasaan. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952 ini menjadi salah satu episode paling krusial dalam sejarah awal Republik, sebuah momen di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara terbuka menentang parlemen.

Bagaimana ini bisa terjadi? Mari kita bedah latar belakang, puncaknya, dan dampaknya bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.

Dinamika Demokrasi

Setelah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem Demokrasi Parlementer, yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet dan persaingan politik yang panas. Partai-partai yang diistilahkan “mabuk demokrasi” berulang kali membuat kabinet pemerintahan tidak berusia panjang dan sempat bekerja dengan efektif. Tiap kali ada ketidakcocokan, partai opisisi bisa menggalang mosi tidak percaya yang menjatuhkan kabinet dari partai yang berkuasa.

Instabilitas ini turut merembet ke tubuh militer, khususnya Angkatan Darat (AD). Konflik internal di AD saat itu berpusat pada dua kubu:

  1. Kubu Kolonel A.H. Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat/KSAD): Kubu ini mendukung program pemerintah yaitu rasionalisasi (perampingan dan profesionalisasi) militer untuk efisiensi dan mengembalikan tentara ke fungsi aslinya.
  2. Kubu Kolonel Bambang Supeno: Menentang kebijakan rasionalisasi Nasution, merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut.

Masalah internal militer ini kemudian dibawa dan diperkeruh di ranah politik. DPR Sementara (DPRS) saat itu terlibat terlalu jauh dalam urusan internal AD, bahkan mengeluarkan mosi yang dinilai oleh para petinggi militer, terutama kubu Nasution, sebagai bentuk intervensi yang melampaui batas kewenangan sipil atas militer. Mosi ini seperti pemicu yang menyulut kemarahan.

Hal ini bisa dimaklumi karena meski di kebanyakan negara demokratis militer akan sepenuhnya tunduk pada kekuasaan sipil, di Indonesia pertumbuhan militer berjalan unik. Mereka bisa dibilang tumbuh sendiri pada 1945 pesca-Proklamasi Kemerdekaan atas inisiatif

Puncak Ketegangan: Demonstrasi di Istana Negara

Puncaknya terjadi pada 17 Oktober 1952. Kubu Nasution, bersama sejumlah panglima daerah, mengambil langkah drastis. Mereka menggerakkan massa demonstran dari berbagai kalangan, termasuk tentara dan rakyat, untuk berkumpul di depan Istana Merdeka. Tuntutan mereka jelas dan keras: Bubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS)! Mereka juga mendesak percepatan pemilihan umum.

Untuk memberikan tekanan maksimal kepada Presiden Soekarno, beberapa unit tank dan meriam TNI diarahkan moncongnya ke Istana Negara. Salah satu perwira yang terlibat adalah Letkol Kemal Idris. Aksi ini adalah pesan tegas militer kepada Presiden agar parlemen yang dianggap rewel dan merusak stabilitas segera dibubarkan.

Ketika situasi memanas dan nyawa bangsa seolah di ujung tanduk, Presiden Soekarno menunjukkan ketegasan luar biasa. Beliau keluar ke teras istana dan berhadapan langsung dengan ribuan demonstran dan barisan meriam.

Dalam pidatonya, Soekarno dengan lantang menolak tuntutan pembubaran parlemen. Beliau berargumen bahwa membubarkan parlemen dengan paksaan akan menjadikannya seorang diktator. “Jangan paksa saya membubarkan Parlemen! Saya tidak mau jadi diktator!” tegas Bung Karno.

Respon tak terduga dari Sang Proklamator ini berhasil meluluhkan massa. Tuntutan yang didukung senjata dan amarah itu seketika meredup di hadapan kewibawaan dan penolakan keras Presiden. Para demonstran dan prajurit TNI akhirnya membubarkan diri.

Dampak dan Akhir Kisah

Meskipun tuntutan pembubaran DPRS gagal, peristiwa ini membawa konsekuensi signifikan:

  1. Pengunduran Diri Petinggi AD: Kolonel A.H. Nasution mengajukan permohonan mengundurkan diri dari jabatan KSAD, diikuti oleh Mayor Jenderal T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang/KSAP).
  2. Pergantian KSAD: Jabatan KSAD kemudian digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng.
  3. Langkah Awal Menuju Profesionalisme Militer: Meski tersingkir sementara, semangat profesionalisme militer yang diperjuangkan Nasution tidak padam.
  4. Piagam Keutuhan AD: Peristiwa ini baru benar-benar dianggap selesai setelah tiga tahun melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) pada 25 Februari 1955. Pertemuan ini menghasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat, yang menyatukan kembali kubu-kubu yang berseteru dan menegaskan kembali netralitas serta profesionalisme militer.

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah cerminan dari tantangan berat yang dihadapi Indonesia di masa Demokrasi Liberal. Peristiwa ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara kekuatan militer dan otoritas sipil di awal-awal kemerdekaan, dan betapa pentingnya peran seorang pemimpin karismatik seperti Soekarno dalam meredam potensi konflik besar.

About the author
B@s